Selasa, 07 Agustus 2007

Keliling Perpustakaan

Salam,

Aku dan Perpustakaan

Senang rasanya dan sungguh aku adalah seseorang yang berbahagia dapat mengetahui pengalaman-pengalaman Kakak di perpustakaan. Jika diingat-ingat, perpustakaan adalah jalan yang membawaku ke dunia sastra. Dulu, ketika di kelas 2 SMU , ketika jam-jam istirahat atau jam pelajaran kosong aku paling sering main keperpustakaan. Ya main, karena di bagian dalam perpustakaan itu akan aku dapatkan sebuah ruangan yang menjual beberapa jenis makanan. Selain itu, perpustakaan bersebelahan dengan ruang kelasku. Jangan bayangkan sebuah ruangan yang besar, perpustakaan itu hanya seluas ruangan kelas, sama dengan ruangan-ruangan yang lain. Di dalamnya terdapat berjajar-jajar rak buku yang isinya hanya buku-buku wajib dari diknas. Satu lemari kaca yang isinya kamus-kamus, dan satu lemari kaca lainnya yang berisi buku-buku umum. Dua lemari kaca itu selalu terkunci rapat, sesekali dibuka jika ada guru yang membutuhkan salah satu buku dalam lemari tersebut. Suatu ketika, lemari kaca terbuka dan penjaga perpustakaan sedang berada di ruangan yang lain. Bayangkan ada ruangan lain di dalam perpus, tempat shalat yang menyatu dengan kamar kecil tempat penjaga sekolah tidur di setiap malamnya. Aku pun asyik membacai satu per satu buku-buku yang ada dalam lemari. Tak ada yang menarik bagiku ketika itu, sampai akhirnya aku mengambil buku "Layar Terkembang" karya STA. Aku pun membaca buku itu dengan santai layaknya membaca buku-buku wajib diknas. Karena harus masuk kelas, akhirnya aku pinjam buku tersebut dan kubawa ke rumah untuk dibaca habis. Waktu itu aku tidak tahu kalau buku yang kubaca tersebut adalah buku berjenis sastra. Yang kutahu, buku itu enak dibaca dan aku ingin tahu akhir ceritanya.

Setahun kemudian, buku itu mengantarkan aku mendapatkan beasiswa untuk bimbel disebuah lembaga swasta yang menurutku biayanya mahal. Hanya dengan menjawab sebuah pertanyaan aku mendapat kesempatan untuk bimbel, persiapan Ujian Akhir Nasional. Kakak tahu, aku hanya menjawab pertanyaan: Tuti, Maria, dan Yusuf, adalah tokoh dalam buku? Tak ada yang menjawab dengan benar, kecuali aku yang memang pernah membaca buku itu. Dari situ aku sadar, bahwa yang kubaca waktu kelas dua adalah sastra. Ketika semua anak jago menjawa pertanyaan eksakta, kusadari tak ada yang menjawab dengan benar pertanyaan mengenai buku sastra. Setelah kejadian itu, aku kembali membaca buku-buku dalam lemari kaca. Memilah, karena saat itu aku tahu ini buku sastra (cerpen, novel) dan itu bukan buku sastra. Di meja-meja perpustakaan sekolahku, terdapat beberapa majalah umum. Iseng-iseng kubaca dengan ketaktertarikan,

ada beberapa puisi di halaman majalah-majalah itu dan kubaca "kaki langit". Setelah beberapa tahun kemudian, ketika aku berada di bangku kuliah, aku baru menyadari bahwa majalah yang kubaca tempo lampau adalah majalah sastra. Sungguh, ketika di SMU aku tak mengetahui bahwa itu adalah majalah khusus sastra, bahwa kaki langit adalah bagian dari Horison. Kakak jadi tahu bukan, bagaimana sastra diajarkan di bangku sekolah. AKu tak ingin menyalahkan guru bahasa Indonesia, tapi begitulah keadaannya. Aku berkenalan dengan sastra Indonesia karena kebetulan aku kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sebuah kebetulan, karena keinginan utamaku adalah jurusan Biologi. Namun aku bersyukur, hingga aku menyadari posisi bahwa: perpustakaan adalah media yang membawaku secara tidak langsung ke dunia kepenulisan.

Rekreasi Perpustakaan

Pengetahuan yang sedikit tentang sastra, membawa aku ke perpustakaan daerah. Sayangnya gara-gara perayaan konferensi Asia Afrika sampai saat ini perpustakaan daerah tersebut dipindahkan, di wilayah yang sangat jauh dengan rumahku. Jika dulu memerlukan waktu satu jam untuk menjangkau perpustaan tersebut, sekarang memerlukan waktu 2-3 jam dan biaya angkutan kota yang sangat mahal. Ketika Masih belum dipindahkan, dua minggu sekali datang ke perpustakaan untuk pinjam buku atau cari buku sumber untuk tugas-tugas pelajaran di sekolah. Buku-buku yang kubawa pulang adalah cerpen dan novel, sedangkan buku puisi aku baca di perpustakaan dengan alasan dapat dibaca sekali waktu di tempat, berbeda dengan buku lainnya yang tebal-tebal. Ya itu sebagian kecil cerita tentang aku dan perpustakaan. Kakak tahu, perpustakaan kampusku memang memiliki gedung yang megah, 4 lantai! Lantai dasar adalah UPI Net. Tempat adik-adik kelas yang mengakses internet dengan murah, ya murah, karena sebagian dana telah dibayar di awal semester, ketika melakukan registrasi.

Lantai pertama menyediakan buku-buku untuk berbagai jurusan, buku-buku seluruh fakultas ada di lantai ini, dan buku-buku sastra hanya terdapat dua rak, buku-buku bahasa satu rak. Lantai berikutnya adalah ruangan skripsi, tesis, dan disertasi. Masih dilantai yang sama disediakan koleksi majalah-majalah, kamus, ensiklopedia, dan literatur lainnya (bahasa inggris dan lainnya). Lantai berikutnya digunakan untuk ruang kuliah. Saat ini UPI sedang gencar-gencarnya membangun dan mahasiswalah yang harus mengalah, karena harus menggunakan perpustakaan sebagai ruang kuliah. Jika kakak ke UPI tahun depan akan nyatalah sebuah Kampus dengan ratusan ribu ruang kuliah baru, belasan gedung-gedung megah, dan lain sebagainya. Hanya dua rak untuk sastra Indonesia, dan apa yang dapat dibanggakan? Maka tak heran jika mahasiswa di UPI selalu mencibir jika membicarakan perpustakaan.

Aku ajak kakak ke perpustakaan lainnya, yang pasti bukan perpustakaan daerah karena koleksi di pusda sangatlah komplit. Perpus ITB, hanya bisa diakses dengan bebas oleh mahasiswa ITB. Pernah sekali waktu main ke dalamnya dan menemukan perpustakaan yang sangat nyaman. Waktu itu aku barengan sama anak ITB, yah biar mudah masuk ke dalamnya. Buku-buku yang berhubungan dengan mata kuliah tersedia. Lantai selanjutnya koleksi bukunya lebih umum dan sastra ada di sini. Namun sayangnya kebanyakan bahasa Inggris, dan aku adalah seseorang yang tak lancar menggunakan bahasa ini. Perpus Pascasarjana Unpad, ruangan boleh besar tapi sama dengan UPI minim buku. Aku tidak tahu bagaimana isi perpus Unpad di jatinangor karena belum pernah ke sana yang pasti tentunya lebih komplit. Perpustakaan Bale Pustaka. Letaknya ada di jalan Jawa setahuku milik pastoral. Bukunya lebih komplit dibandingkan perpus UPI, dengan membayar keanggotaan 25 ribu pertahun kita bisa sepuasnya pinjam buku, film, dan mengakses internet gratis. Perpus Batu Api, letaknya di jatinangor. Di sini gudangnya buku bacaan, dari zaman baheula sampai zaman ayeuna pastilah ada. Pernah sekali datang, dan berfoto-foto di rak buku-buku tua. Di luar kota, jadinya cuma sekali dan belum pernah main lagi ke sana. Perpus Museum Sribaduga. Perpustakaan ini sangat berjasa besar untuk aku, karena secara tidak langsung membawa aku jadi juara II lomba cipta puisi yang diadakan Dewan Kesenian Riau. Di sini gudangnya buku-buku daerah se-Indonesia. Mau cari budaya apa, Insya Allah ada di sini. Masih banyak perpustakaan lain yang pernah kukunjungi tapi aku lupa nama perpustakaannya. Salah satunya perpus yang berada di kompleks militer. Data-data sejarah bisa ditemukan di perpustakaan di jalan kalimantan, jalan veteran, jalan-jalan lainnya di kota Bandung.

Aku yang Polos

Terima kasih menilaiku sebagai seseorang yang polos. Memang benar penilain Kakak ini, aku seorang yang masih polos di dunia tulis-menulis. Asyiknya menulis aku temukan ketika kuliah semester dua sampai sekarang. Awalnya, tak ada niat sedikitpun untuk berkarya, berhubung banyak kakak kelas yang menanyakan "mana karyanya?", "nulis apa hari ini?", dan segudang pertanyaan lainnya. Ditambah teman-teman kelas yang juga bertanya "Ingin baca tulisan Dee," "udah muat di mana aja?", dan lain sebagainya.

Dari pertanyaan-pertanyaan mereka aku mulai berpikir. O, berarti aku harus menulis, harus berkarya, dan harus dimuat. Sejak itulah (semester dua) aku menargetkan: nanti di semester tiga harus ada tulisanku yang dimuat, dan untuk menuju pemuatan aku harus banyak belajar, harus banyak membaca, dan harus berdisipilin diri. Maka puisi-lah yang menjadi batu loncatan pertamaku. Belajar merangkai kata, bergumul dengan kamus, berdiri berlama-lama di toko buku, belajar bikin e-mail, kirim tulisan, datang ke kantor pos setiap bulannya, datang ke acara diskusi buku, pameran buku, dan seabrek kegiatan yang mendukung aku dalan nuansa menulis. Sampai akhirnya target aku tercapai di semester tiga. Puisiku muat di dian sastro #2. Setelah itu, semakin menggebu-gebulah aku belajar menulis. Apalagi ketika seorang teman berkata "menulis adalah bakat", betapa inginnya aku mematahkan teori itu.

Dan sampai saat ini, menurutku, aku berhasil mematahkan perkataan temanku. Akhirnya dengan perjuangan yang keras, aku bisa menulis walaupun belum dapat dikatakan bagus.

Terus menulis dan membaca adalah usahaku yang paling keras. Dari seorang wartawan aku mencatat, "kalau mau dimuat di media luar, harus bisa muat di media lokal dulu", aku pun ingin mematahkan perkataan wartawan itu, akhirnya kirim ke media manapun. Namun jalan yang ini tak semulus target pertama. Akhirnya, mau tidak mau, aku harus mengiyakan perkataan wartawan itu. Setelah perjuangan kirim ke media lokal berkali-kali, akhirnya di tahun kedua puisiku muat di Pikiran Rakyat. Setelah pemuatan di PR, jalanku untuk muat di media lain agak-agak lancar. Sampai sekarang pun aku terus berusaha tetap menulis dan membaca di sela-sela rumitnya penelitian skripsi. Doakan ya Kak, skripsi dan sidangku berjalan lancar. Rencananya, aku sidang di bulan Maret dan diwisuda bulan April. Beberapa bulan ke depan, jadilah aku seorang Sarjana Sastra yang minim bahan bacaan tidak seperti Kakak yang bacaannya sudah mendui, hebatlah!

Kakak Tidak Seperti Itu!

Jangan lagi bilang, bahwa kakak adalah seorang anak haram dari sastra Indonesia. Anak yang sah itu yang seperti apa? Apakah harus kuliah di sastra? Apakah wajib membaca karya sastra dari Indonesia? atau kriteria apa, yang menyebabkan seseorang disebut anak haram atau anak sah dari sastra Indonesia. Selayaknya penulis lain, kakak adalah seseorang yang meramaikan jagat sastra Ind. dengan karya-karya kakak, seperti penulis lainnya, kakak adalah seseorang yang turut andil memperjuangkan budaya baca dan tulis yang masih sangat minim di Ind. Jadi, pantaslah kakak berbangga dengan semua yang telah kakak raih dan kakak perjuangkan. Dan yakinlah, suatu saat kakak akan menjadi sejarah seperti yang Pramoedya katakan: "Menulislah. Selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah."

Semoga, aku tidak membuang waktu kakak dengan percuma, semoga kakak masih mau berbagi banyak hal tentang menulis, atau mengenai apapun. Yang pasti, aku senang dengan semua ini: perjumpaan dengan Kakak, membaca karya-karya kakak, dan berkomunikasi dengan Kakak. Pokoknya: SIPLAH!!!

Oya, kapan kakak buat antologi cerpen terbaru? Nanti kirimi aku ya.

Salam,

DeHa

Tidak ada komentar: