Sabtu, 28 Juli 2007

Kelahiran Perempuan Kupukupu

SudutBumi, 8 Mei 2006

Teruntuk Sahabat,

Di persinggungan batas maya

Intro

Sedekat apakah kau dengan matahari?

Tak berjarak bukan, karena kau menjamahnya tiap hari

Awalan

Tiba-tiba saja di akhir Desember aku dikejutkan dengan nama baru yang hadir di inbox e-mailku. Nama yang aneh, namun begitu saja lekat dalam ingatanku. Koto, ya nama ini menumbuhkan suatu tanya yang besar. Siapa sih sosok ini? Terus terang aku mencari tahu pada beberapa kawan di luar kota. Hasilnya? Sosok ini tetap terkungkung dalam sebuah misteri. Hingga akhirnya aku menemukan nama ini di sebuah kumpulan puisi yang dipersembahkan bagi kepergian Munir. Tak lama berselang, seorang kawan memperlihatkan cerpen __yang ditulis sosok misteri ini __di sebuah situs internet, sempat juga mendapat referensi tambahan. Bahwa Koto adalah alat musik di Jepang yang dimainkan dengan cara dipetik(di Indonesia, dikenal dengan nama kecapi), bahwa Koto adalah sistem pembagian nama daerah di Riau, bahwa Koto berarti kota, bahwa Koto adalah sosok yang akhirnya mengirimi surat dengan membuka siapa jati dirinya.

Begitulah…

Akhirnya aku mengetahui sedikit siapa sosok tersembunyi ini. Sosok yang kini tak lagi misteri (walau pun aku tak menahu bagaimana raut wajah yang dimilikinya), sosok yang sempat membuat aku cemburu karena pernah membandingkan aku dengan cerpenis dari Sumatera. Kau harus tahu, perempuan tak pernah ingin dibandingkan.

Karena kau mengetuk pintu terlebih dahulu, maka sudah sepantasnya aku mempersilahkan kamu masuk dan duduk di dalam sebuah rumah duka, yang hanya memiliki satu pintu, dua jendela, serta alun angin yang akan membelai kulitmu setiap saat. Akan aku suguhkan segelas air putih yang langsung diambil dari mata air di kaki gunung, di mana rumahku berada. Kau pun dapat menyaksikan dengan damai bagaimana rumpun bambu saling mengangguk, bisunya tebing-tebing pasir, heningnya gunung Tangkuban Parahu.

Koto, ya aku akan memangilmu Koto.

Ketika aku menulis balasan suratmu aku dalam keadaan tidak sehat, mungkin karena beberapa pekan terakhir ini aku disibukkan dengan penelitian dan berbagai lomba kepenulisan yang aku ikuti. Puncaknya, ketika aku menjadi pemateri sebuah training jurnalistik. Sungguh! Semua telah menyedot kekuatan fisik dan pikiranku. Semoga saja, saat kamu membaca surel ini aku sudah berada dalam keadaan sehat. Doakan saja!

Walaupun dalam keadaan yang tidak begitu sehat, kemarin aku memaksakan diri menghadiri sebuah pertemuan yang membahas tentang "menulis ekspresif". Sungguh aku bosan dengan berbagai materi yang bagiku melulu itu-itu saja. Namun karena ingin menikmati suasana yang baru, teman baru, dan pengalaman baru akhirnya aku datang juga ke pertemuan itu. Ternyata, semuanya mengandung hikmah. Aku mendapat teman baru, suasana baru, dan karakter-karakter baru.

Kau tahu, aku adalah perempuan yang masih dapat bertahan tanpa menggenakan jilbab atau kerudung. Aku adalah sosok cuek, tomboy (kata beberapa teman perempuan), keras hati, liar, ya dapat disebut tak memiliki hati nurani. Karenanya aku mampu membenci setiap orang yang tingkah lakunya membuat aku muak, aku dapat menyakiti hati orang lain hingga terluka, dan aku dapat berbuat apa pun semauku. Sangat-sangat liar bukan?

Semua perempuan muslim di kelasku mengenakan jilbab, kecuali aku dan empat orang kawanku yang lain. Kamu dapat bayangkan, aku yang liar ini berada dalam tatanan kehidupan yang serba "perempuan". Akh membosankan!

Dan pertemuan itu mendaulat aku sebagai satu-satunya perempuan tanpa jilbab. Sepertinya aku tersesat, salah dunia, tapi ini kenyataan yang harus aku lewati. Bukannya tak ingin menggunakan jilbab, tapi masih ada seribu satu alasan lebih aku memilih jalan seperti ini__tanpa penutup kepala. Aku berharap Tuhan tak marah dengan kelakuanku yang salah ini. Aku sadar bahwa telah menjadi ketentuan agama bahwa perempuan harus menutup aurat, sangat sadar. Tapi apa mau dikata, hatiku belum berkehendak demikian, jiwaku masih ingin mengembara ke dunia-dunia kotor bagi Tuhan. Dengan kesadaran ini pula, aku mencoba hidup dalam kesantunan berpakaian, setidaknya bagiku.

Koto, kamu jangan terlalu menilai aku sebagai individu yang berdisiplin dalam tulis-menulis. Sudah tiga bulan terakhir ini aku malas menulis. Bayangkan dalam sebulan aku hanya menulis tiga puisi, tak lebih. Sebenarnya aku sangat ingin selalu memiliki kelebihan waktu untuk menuangkan gagasan dalam pikiran dan lamunanku, tapi tak bisa. Apalagi saat ini aku sedang mengerjakan skripsi. Sudah sebulan aku mendiamkan bahan penelitianku ini, rasa malas itu selalu membelitku. Malas, teramat malas! Sudahlah aku tak mau berpanjang lebar tentang skripsiku ini. Yang pasti, aku menargetkan tahun ini aku meninggalkan bangku kuliah, semoga Tuhan yang selalu baik padaku memberikan kekuatan untukku. Melepaskan ketertinggalan.

Puisi

Mungkin aku harus lebih banyak belajar padamu, yang sejak SMU mengenal puisi. Perkenalanku dengan puisi baru dimulai ketika aku duduk di semester dua perkuliahan. Semester pertamaku hancur, nilai-nilai mata kuliah sangat pas buat naik tingkat. Semester dua aku baru sadar, bahwa lingkunganku adalah Bahasa dan Sastra Indonesia program nonkependidikan (UPI lebih banyak mencetak guru), yang mencetak aku untuk jadi seorang peneliti yang tangguh. Banyak teman-temanku sepertimu, mereka telah mengenal sastra dari SMU, sedangkan aku? Aku benar-benar tersadar ketika berada di semester dua. Karena desakan dari kakak kelas dan lingkungan akhirnya aku menargetkan diri bahwa semester tiga harus ada tulisanku yang muat di media, entah itu puisi, cerpen, entah itu koran atau buletin kampus sekalipun.

Akhirnya aku mulai berproses mengenali puisi, mencoba berkawan dengan karya seni yang indah ini. Membaca puisi teman, membaca puisi senior-senior di ASAS, membaca puisi di koran, sampai puisi-puisi di cybersastra aku baca. Lalu aku belajar menulis puisi, menggabungkan kata per kata. Hingga akhirnya aku mampu menulis puisi yang biasa-biasa saja. Membaca puisi penyair-penyair besar, membaca buku teknik penulisan, semuanya aku lakoni. Kamu tahu, puisiku pada awal-awal berproses sama dengan puisi anak SD. Aku mengakui ini, dan beberapa teman sependapat denganku. Puisi anak SD? Betapa menyedihkan bukan? Aku yang mahasiswa ini disamakan dengan anak SD. Tak apa! Karena ini semua berawal dari keberprosesan.

Setiap minggunya aku membawa sepuluh puisi ke sebuah toko buku bernama Wabule (Warung Buku Lesehan). Di Wabule telah menanti seorang kakak kelas yang akan "membantai" puisi-puisiku, darinya aku banyak belajar puisi. Bagaimana memadatkan kata, membangun metafor dalam puisi, belajar makro dan mikro semesta yang kemudian dialihkan pada bait-bait puisi. Begitulah, setelah ilmu puisi yang dimiliki kakak kelasku habis "diturunkan" padaku, aku dibiarkan berkelana sendiri. Seperti saat ini, aku masih belajar menghidupkan ruh dalam puisi.

Tahun 2003 puisiku muncul di Dian Sastro, kamu tahu bagaimana rasanya? Aku histeris mengetahui kenyataan ini. Setidaknya ada beberapa gelintir orang yang menyukai puisiku. Target semester tiga, terwujud. Setelah pemuatan itu motivasiku untuk selalu menulis melambung tinggi. Sedikit sombong, aku dapat melampaui beberapa teman seperjuangan. Bangganya bukan main. Gila! Ada orang yang menghargai puisiku yang biasa-biasa itu. Wah! Aku benar-benar tidak menyangka. Setelah pemuatan itu aku masih terus belajar menulis puisi. Salah satunya aku membiasakan diri menulis puisi setiap hari, biar jelek sekali pun aku harus menulis, menulis dan menulis.

Mei 2005 aku mengalami kegelisahan di puisi. Akibat dari kegelisahan ini puisiku berubah, baik dari isi atau pun tipografi. Beberapa kawan pun tak mengira puisiku jadi berbeda. Ternyata aku sempat juga mengalami kegelisahan dalam berpuisi, sebelumnya aku tak sempat membayangkan ini. Koto, kamu pernah mengalami kegelisahan dalam berpuisi? Semoga tidak begitu meresahkan seperti apa yang pernah kualami. Saat itu yang aku pikirkan hanyalah sebuah kalimat, "Kok aku membuat puisi yang jelek sih!" Kalimat ini memotivasi aku untuk terus bereksperimen dalam puisi. Kamus adalah salah satu senjataku, untuk bermain-main kata. Selain kamus, senjata lain adalah laki-laki.

Benar katamu, tidak setiap peristiwa dapat aku bubuhkan jadi lantun puisi. Mereka itu licin bahkan teramat licin. Mudah mengabur, sulit diterka, dan terus berkembang dalam ruang-ruang imajinasi yang membumi. Akh….

Jati Diri

Koto, kamu telah membuka lembaran masa lalu dan membaginya padaku. Terima kasih, karena kamu telah memercayai aku sebelum pertemuan mewujud. Dan kau pun memberikan satu kesempatan untukku membeberkan siapa aku, memberikan sebuah ruang di ingatanmu untuk seorang kawan di persinggungan batas kemayaan.

Ketika kau menuliskan bilangan usiamu, entah apa yang terjadi dalam pikiranku. Yang pasti, ketika kau menuliskan 23, aku mengira usiaku 19 tahun. Aku juga tak mengerti mengapa hal ini terjadi. Aku meyakini usiaku 19 tahun, padahal 22 tahun. Tak jauh bukan dari usiamu.

"Anti Sentuh" begitulah aku dikenal teman-teman dekat di kampus. Istilah perempuan anti sentuh tiba-tiba saja menempel dalam keseharianku. Bagaimana tidak, tubuhku akan menghindar secara refleks jika bersentuhan secara sengaja atau tidak sengaja. Aku akan menjerit histeris, dan langsung mengagetkan beberapa orang disekitarku. Entah mengapa, tubuhku seolah enggan bersinggungan dengan benda lainnya. Beberapa kawan mengejekku "Gimana kalo malam pertama?" aku tak mau membayangkan itu, sungguh! Malah ada yang iseng bertanya "Dee, kalo pacaran gimana?" Kau tau, jawabanku hanya tersenyum.

Semenjak SLTP aku menghindari yang namanya pacaran. Karena budaya remaja di kotaku mengharuskan ritual berkencan ketika seseorang membina hubungan dengan lawan jenis. Dan aku tidak menyukai ritual pacaran seperti ini. Bagiku sangat membosankan. Seorang perempuan yang berpacaran secara otomatis harus mau "diapa-apakan" oleh pacarnya. Dan ini sangat tidak mengenakkan bukan? Kita terpaksa nonton bareng, makan bareng, jalan bareng, dan segala hal yang dilakukan bersama-sama. Sangat menjemukan bukan? Aku menyukai kesendirian. Mungkin ini yang menyebabkan aku malas untuk berpacaran.

Aku dan kamu sangat berbeda. Ketika kamu berteman eforia, aku tak pernah merasakan itu. Karena aku, tetap berada dalam satu kawasan. Tidak sepertimu yang memberanikan diri datang ke sebuah kota asing, aku tak pernah melakukan perjalanan jauh bahkan aku belum pernah menetap di kota asing. Kau beruntung, setidaknya pernah merasakan hidup di budaya yang berbeda. Sedangkan aku? Lahir di Bandung, tumbuh dan besar di Bandung pula. Terkadang dua tahun sekali ikut orang tua mengunjungi simbah di Jawa Tengah.

Dua budaya berbeda ini (lahir di Sunda, keturunan Jawa) membuat aku gagap berbahasa. Sampai saat ini aku tak dapat bertutur dengan baik menggunakan bahasa Sunda atau pun bahasa Jawa, tetapi aku mengerti kedua bahasa itu. Ini mungkin salah satu kelemahanku dalam berbahasa.

Berbicara mengenai laut, kau beruntung. Setidaknya kamu telah mencicipi bagaimana asinnya air laut, damainya debur ombak, kerasnya hidup orang-orang pantai, alun lembut pasir di pesisir. Sungguh, kamu teramat beruntung merasakan semua itu. Sedangkan aku? Menjejak pantai saja belum pernah apalagi berdamai dengan lautan yang kata orang ombaknya ganas.

Berkawan denganmu, membuat aku ingin mengetahui sekeras apa kehidupan para pelaut itu? Malam yang jadi siang telah membiasakan meraka berteguh pada kepulangan menuju handai tolan. Aku jadi ingin merasakan hidup orang-orang itu. Semoga ada kesempatan untukku menikmati laut dan memunculkannnya dalam bait puisi.

Koto, saat ini aku sedang belajar ilmu ikhlas __bukan karena film dan sinetron "Kiamat Sudah Dekat" mungkin juga terinspirasi. Betapa aku ingin mengikhlaskan segala sesuatu yang pernah terjadi. Dari seseorang aku mengenal zakat, sebenarnya sejak kecil aku sudah kenal istilah ini. Tetapi selalu saja zakat fitrah jadi tanggungan orang tua. Seseorang itu mengajarkan padaku, jika kita dapat uang lebih, sudah sepatutnya kita menyisihkan 2,5% dari uang yang kita dapatkan. Sekarang ini aku selalu mengingatkan diri sendiri, jika dapat royalti ya setidaknya mengikhlaskan bagian yang memang milik mereka.

Akhiran

Koto, kamu tahu arti Dian? Dian itu berasal dari bahasa Jawa yang berarti pelita atau cahaya. Di desa orang tuaku, Dian itu adalah lampu dengan sumber energi minyak tanah yang gunanya tentu saja untuk penerang. Dian dibuat menggunakan botol kaca kecil bekas obat batuk atau sejenisnya. Tentunya aku ingin jadi penerang untuk orang-orang sekelilingku, setidaknya dengan ide-ide brilianku. Atau apapun itu, yang pasti berharga.

Suatu saat kamu pasti merasakan hal yang ingin kamu rasakan. Misalnya, bangun dari tidur dan tak menemu apa pun. Kau pun tak ingat di mana itu, lantas datang seseorang yang akan membekapmu dengan puisi-puisi tajam. Kau pun mengira-ngira siapa dia? Berani-beraninya mengganggu tidur di pagi hangat. Sosok perempuan berambut pendek, oh tidak pendek, terlampau pendek untuk ukuran perempuan. Kau coba mengingat siapa perempuan itu? Sayang kau tak dapat mengingat, kau hanya menemu tato kupu-kupu di jenjang lehernya. Koto, kamu masih tetap berusaha mengingat. Kupu-kupu itu hidup. Dia hinggap di tumpukan buku-buku berdebu di kamarmu. Namun sayang, perempuan itu hanya menancapkan geligi dan menghunjamkan seribu senyum tanpa kata. Tanpa kata.

Bandung adalah satu-satunya kota yang amat kucintai. Kota kembang yang menghilang jadi kota sampah. Saat ini aku sedang membenci Bandung. Pekan terakhir kotaku dipenuhi sampah, bukit-bukit sampah bertebaran di tepian jalan raya. Aku tak mengerti mengapa hal ini dibiarkan oleh pejabat dan masyarakat kotaku.

Teduh jalanan Bandung sungguh melambungkan anganku. Gedung-gedung berarsitektur Belanda, rindang pohonan di kawasan Dago, bahkan sunyi kota kudapati disepanjang Cipaganti. Jayagiri yang pernah kutaklukan, sungai-sungai yang pernah mengutukku. Karena aku adalah anak rimba di tengah metropolisnya Bandung. Karena aku, bandung, puisi-puisi itu telahir. Begitu saja berloncatan tak dapat kubendung. Tak dapat!

Refrein

Selalu aku tersenyum manakala namamu muncul di inbox e-mailku. Sebelum kubaca surat-surat singkatmu, senyumku muncul dan tahan lama. Sepanjang membaca suratmu, hingga berulang-ulang, senyum tak lepas dari bibirku. Terima kasih, karenamu aku selalu tersenyum di warnet. Karenamu, aku selalu bersemangat untuk menulis puisi, karenamu dan tentunya karenamu. Selanjutnya, kau tak perlu lagi memintaku untuk tersenyum. Karena aku akan selalu memberikan senyum terhangat untuk seorang sahabat sepertimu.

Jabat rindu untuk orang-orang yang mengelilingimu. Belajarlah pada alam, karena kita berada dalam lingkup kesesatan. Terima kasih Sahabatku….

Salam,

DeHa

Lafal Untuk Sebuah Maaf

SudutBumi, 10 Mei 2006

Kepada segenap insan yang mencintai kata

Tentang Percakapan dan Mimpi

Kemarin sore, selepas mata kuliah Dialektologi aku dipertemukan dengan seseorang yang sering aku panggil si kembar__entahlah aku begitu nyaman dengan sebutan ini. Padahal kawan-kawan yang lain memanggilnya Piyu. Aku sendiri tidak mengetahui nama aslinya, mungkin karena aku tidak begitu banyak mengenal nama orang per orang, aku lebih akrab dengan wajah-wajah mereka__kakak kelas, adik kelas, atau siapun__yang aku temui di jalan menuju Pentagon, di selasar menuju ruang utama Al-Furqan, sudut Partere, atau jalan-jalan kecil lainnya yang membuat aku tak asing lagi dengan kampus UPI.

Sejak tiga bulan terakhir ini aku hanya sesekali mendatangi kampus untuk memenuhi presensi perkuliahan, bimbingan skripsi (ini pun tersendat), mengurus segala macam tetek-bengek yang berhubungan dengan birokrasi, mendatangi perpus hanya untuk membayar denda karena buku yang lupa aku kembalikan. Tak ada lagi kegiatan. Di rumah pun aku tak menyentuh bahan penelitian yang seharusnya sudah masuk bab dua. Lama juga aku tidak mendatangi kegiatan yang berhubungan dengan sastra, seperti teater, peluncuran buku, berdiskusi karya dengan teman-teman. Hanya saja aku menyempatkan diri untuk melihat-lihat koran minggu, yang barang kali memunculkan namaku. Aku juga menyempatkan sebulan sekali untuk mendatangi Gramedia, melihat buku-buku yang baru terbit. Itu semua aku lakukan karena kecintaanku pada buku, karena kesayanganku pada kata, karena kesukaanku pada tulisan.

Perjumpaan dengan si kembar yang tidak pernah kusangka ini menjerat aku pada rasa bersalah yang menggunung. Betapa tidak, kata-kata Piyu seolah menggugah kesadaranku tentang keberadaan diriku, ASAS, Hima Satrasia, kakak kelas, adik kelas, dan lingkungan tempat aku bernaung selama ini. Percakapan yang singkat di sepanjang jalan, depan UPI Net, serasa menghukum aku pada segala laku yang pernah kuperbuat selama ini. Bincang-bincang mengenai tulisan, jawaban-jawaban yang aku lontarkan, alasan-alasan yang aku kemukakan, seolah-olah hanya berupa wacana pembenaran bagi diriku sendiri.

Pertemuan yang singkat itu kemudian mempertanyakan aku (sebagai kakak kelas) yang tidak membagikan ilmu menulis yang aku miliki pada teman-teman yang lain. Aku pun memberikan jawaban "Aku bukan seperti Lukman Asya atau Ujianto Sadewa yang dapat berkoar-koar di depan umum. Satu kelemahanku, yaitu tidak dapat berbicara di depan umum. Kalo mau belajar ya menulis saja."

Lalu Piyu bertanya "Teh, saya paling nggak bisa membuat puisi yang prosais".

Lalu jawabku "Setiap orang itu punya karakter, jadi nulis aja."

Perdebatan kecil pun terjadi, "Ya harusnya Teteh mengajarkan kami, jadi muncul penyair lain, yang tidak hanya penyair Dian Hartati."

Aku menyambung, "Ya, kalo mau belajar, kamu kasih puisimu nanti sama aku dinilai 'dibantai', kemarin juga Bojes ngasih beberapa puisi, tapi karena belum ada waktu yang klop puisi itu masih aku simpan, dan sudah aku corat-coret."

"Ya, nanti Teteh kasih nilai puisiku enam," Piyu berargumen.

Karena percakapan singkat sore itu aku berinisiatif menulis surel ini untuk kalian, tulisan ini menjawab salah satu kelemahanku tadi yaitu tidak dapat berbicara di depan banyak orang. Juga karena peristiwa itu terbawa dalam mimpiku semalam. Jadi, betapa bersalahnya aku mengabaikan diskusi, karena aku tak pernah meluangkan waktu untuk sebentar saja beranjak menuju Pentagon lantai tiga di rabu sore.

Tentang ASAS, Tobucil, dan Cerita Lainnya…

Menulis adalah hal yang baru aku kenal di bangku perkuliahan. Sebelumnya aku tidak mengenal yang namanya sastra. Pelajaran di SMU meruapkan wangi sastra, yang ada hanya Bahasa Indonesia. Untuk itu aku memulai untuk mengenal tulisan, puisi, cerpen dan esai. Pertengahan tahun 2003 adalah masa awal aku belajar menulis puisi. Setelah diklat ASAS yang aku ikuti 5-6 Juli 2003, kesadaran untuk menulis begitu besar melambung dalam diriku. Berbekal ilmu yang aku dapati dari diklat aku berusaha berdisiplin diri untuk menulis. Mencontoh rekan-rekan ASAS yang seangkatan, senior-senior ASAS, dan teman-teman di kelas. Mereka semua adalah motivasi utama yang mendorong aku untuk menulis, dan tetap berkarya. Waktu itu Reza sudah memiliki kumpulan puisi tunggal, Kang Lukman sudah "menjadi" penyair, Sigit Rais bercerita tulisan-tulisannya yang sering dimuat di media. Betapa aku ingin seperti mereka. Menulis lalu dimuat. Sering juga aku berdiskusi dengan Kang Ahmad atau Kang Kobo mengenai esai, ngobrol dengan Kang Jalal "Gimana sih caranya nembus media?". Seminggu setelah diklat, muncul nama Nana Jiwayana di PR minggu, tak lama berselang nama Ahmad Irawan Nur Alam Eka Putra, Rahmawinasa, Kang Jalal, dan lainnya. Sosok Rudy Ramdani yang sekarang sering muncul di media dengan nama Awal Aliruda, puisinya sempat aku jadikan contoh.

ASAS adalah komunitas pertama yang mengasah aku untuk mempertajam motivasi menulis. ASAS juga yang kini sering dipertanyakan orang-orang ketika aku mendatangi tempat-tempat yang berhubungan dengan sastra. Beberapa waktu lalu, ketika aku datang ke Dewan Kesenian Jakarta, beberapa dari mereka mempertanyakan keberadaan ASAS. Kemarin (7 Mei 2006) ketika berbincang dengan Irfan Hidayatullah, lagi-lagi ASAS menjadi wacana utama. Aku masih ingat pertanyaan yang dilontarkan Kang Irfan "Kenapa orang-orang ASAS aneh?" lalu aku jawab saja sekenanya "Apakah aku aneh? Teman-teman ASAS itu ohida, Orang Hidup dengan Apresiasi" dia hanya tersenyum. Di lain tempat, ketika aku bergabung dengan komunitas di luar sastra__aku gabung pada sebuah kelompok paduan suara__ banyak yang mempertanyakan ASAS, atau ketika aku belajar menulis di Tobucil, mereka juga sering kali mempertanyakan ASAS. Bertanya bagaimana masuk jadi anggota dan ingin aktif di dalamnya. Berhubung aku bagian kecil dari ASAS aku menjawab bahwa ASAS adalah sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa, siapa saja dapat jadi anggota asalkan dia mahasiswa UPI. Kalaupun bukan anak UPI, siapa saja dapat bergabung untuk diskusi-diskusi yang sering dilakukan ASAS. Begitulah, aku merasa memiliki ASAS walaupun tidak atau jarang hadir di hari rabu. Untuk itu sampai sekarang aku PeDe mencantumkan ASAS di CV-ku.

Dalam pandanganku menulis bukanlah sebuah bakat. Banyak orang berbicara, menulis adalah bakat yang terpendam. Tapi tidak bagiku! Menulis adalah suatu kerja keras yang dibarengi kedisiplinan. Karena masih merasa kurang aku mencari komunitas menulis lain, dan Klab Nulis Tobucil (KNT) menjadi pilihan. Aku tahu Tobucil dari beberapa koran, lalu mencari di mana letaknya, dan langsung bergabung. Di KNT aku memeroleh suasana baru, kawan baru, dan pandangan-pandangan baru perihal menulis.

Di KNT aku dipaksa menulis saat itu juga, dipaksa berkarya, dan aku pun terpaksa melakukan itu semua. Di tempat ini aku mendapat kenyaman yang berbeda, kemalasan menulisku hilang dan keinginan menulisku muncul, bahkan meledak-ledak. Setiap senin sore aku mendatangi toko buku kecil di jalan Kiai Gede Utama No. 8, bertemu karakter-karakter yang berbeda setiap pertemuan. Orang-orang yang memang bergelut dengan tulisan, bahkan beberapa dari mereka mengaku penulis. Betapa senangnya aku berada dalam lingkungan seperti ini. lagi-lagi semangat menulisku meninggi ketika beberapa cerpenku dibantai. Segala masukan aku catat dan aku terapkan dalam latihan menulis selanjutnya. Secara sadar KNT membentuk aku dalam kerja keras di dunia kepenulisan. Setiap pertemuan yang menghasilkan tulisan, selalu menggugah aku untuk berkarya lebih banyak.

Di kelas pun aku bertemu teman-teman yang telah akrab dengan sastra. Mereka mempengaruhiku dalam berkarya. Banyak-banyak aku membaca tulisan mereka. Jika mau dibandingkan, aku sangat tertinggal jauh di belakang. Untuk itu aku banyak membaca, membaca apapun, terutama puisi, cerpen, dan esai yang sampai saat ini aku belum dapat menuliskannya dengan baik.

Puisi

Berbekal semangat dari mereka semua, akhirnya aku memberanikan diri untuk mengirimkan tulisan ke media. Aku sendiri menyadari bahwa kualitas tulisanku belum ada apa-apanya. Pasang target pun aku lakoni, bahwa di semester tiga harus ada tulisan yang dimuat. Demi memenuhi target itu, kerja keras dan kedisiplinan aku kerjakan dengan keras hati. Setiap bulannya aku kirim tulisan ke media mana pun yang menampung rubrik puisi.

Puisi adalah batu loncatan pertamaku dalam menulis. Dalam pandanganku, menulis puisi itu mudah. Hanya menyoal memadatkan kata, membangun metafor, dan menyampaikan pesan pada pembaca. Nyatanya menulis puisi itu sulitnya buka main. Banyak hal yang harus aku lakukan dalam menulis, setidaknya harus ada inspirasi sebagai pemancing. Selain itu aku harus banyak membaca karya penyair-penyair lainnya. Berdiskusi dengan beberapa teman yang memang manyukai puisi. Memaksa mereka untuk menilai puisiku.

Ketika itu di jalan Imam Bonjol No. 50, setiap seminggu sekali aku membawa beberapa puisi untuk dibantai seseorang. Dia adalah Wida Waridah atau Widzar Al-Gifary yang secara langsung mencacah puisiku. Wida menjelaskan bagaimana bangunan puisi yang baik, merangkai kata dengan tepat, memangkas kata-kata yang sering diulang. Pemilihan judul pun diperdebatkan. Wida pun memberikan banyak referensi yang harus aku baca, mengenalkan nama W. Haryanto, Jamal D. Rahman, dan nama penyair yang lainnya. Sampai akhirnya tanggal 14 Maret 2005 Wida "menurunkan" ilmu puisi terakhir yang dimilikinya. Tentang mikro dan makro semesta yang harus dijalin dalam untai lantun puisi. Setelah itu Wida angkat tangan, dan aku dibiarkan sendiri dalam pengembaraan kata-kata.

Sampai akhirnya mei 2005 aku mengalami kegelisaan dalam berpuisi. Setelah diri ditempa latihan-latihan menulis dengan keras, tiba-tiba saja aku tidak dapat menulis. Apapun itu! Yang ada aku hanya merenungi semua tulisan yang pernah aku buat. Berpikir mengenai tulisan, mengulas, membaca ulang, membandingkan dengan karya penyair lainnya, dan terus mengkaji. Sampai pada akhirnya aku dapat menulis lagi dengan hasil yang sangat berbeda. Tiba-tiba saja hasil puisiku sangat berbeda dengan karya sebelumnya. Isi puisi dan bentuk tipografi yang berbeda sempat membuat aku bertanya-tanya pada diri sendiri. Akhirnya aku menyadari bahwa itu semua adalah bentuk dari keberprosesan. Dan aku yakin ini tidak sia-sia!

Sampai saat ini aku masih harus banyak belajar. Dan ini menuntun aku untuk memilih kajian telaah puisi dalam skripsi yang sedang malas aku rampungkan. Aku juga masih harus membaca banyak karya orang-orang. Satu kelemahanku dalam kegiatan membaca adalah membaca buku-buku terjemahan, ini pernah aku keluhkan pada penyair Rizki Sharaf. Sedang untuk membaca buku bahasa aslinya aku tidak mampu. membaca buku-buku terjemahan seolah aku dihadapkan pada rangkai kata yang begitu rumit. Ingin rasanya membaca buku-buku itu tapi aku harus berjuang sangat-sangat keras. Membangkitkan ruh dalam puisi adalah hal yang sedang aku pelajari, tatanan estetika dalam berpuisi pun ingin aku pahami semuanya. Sekali lagi kembali pada proses pembelajaran, kesadaran diri untuk selalu berdisiplin dalam menulis dan mengirimkan karya.

Media Massa

Semester tiga membangun tekad di hati untuk jadi seorang penulis. Target yang aku pasang mewujud, puisiku yang biasa-biasa saja dihargai dan dimuat di sebuah buku terbitan Yogyakarta. Dengan berbekal kebanggaan yang sangat tinggi ini, aku membanjiri redaksi-redaksi media massa dengan puisiku. Lagi-lagi ternyata kesabaran yang tinggi sangat diperlukan.

Karakter puisi media dengan karakter puisiku sangat berbeda. Dari pengalaman teman-teman, dari seminar-seminar yang aku ikuti, ternyata jika ingin mudah dimuat aku harus dapat bernegosiasi dengan diri sendiri. Setidaknya untuk mengubah karakter puisi dan disamakan dengan karakter media. Namun nurani tidak dapat dipaksa. Puisi-puisi yang mengalir dari tanganku melulu karakter yang aku miliki. Aku tidak dapat menyamakan dengan karakter di media. Akhirnya aku bertahan dengan karakter diri sendiri, tak peduli dimuat atau tidak dimuat! Yang pasti inilah karakter yang aku miliki. Seharusnya dalam keberprosesan, kita harus dapat menjelajah segala hal termasuk karakteristik. Dan tetap menulis serta mengirimkan tulisan setiap bulannya.

Bersentuhan dengan teknologi adalah salah satu upaya memperluas cakrawala. Akhirnya aku membuat jadwal pengiriman karya via e-mail setiap minggu. Semua media aku hujani puisi. Melulu puisi karya tulisan dengan stok terbanyak yang aku miliki. Sesekali pernah juga kirim cerpen.

Akhirnya setelah proses pengiriman kurang lebih dua tahun, puisiku muncul di Pikiran Rakyat. Bagiku ini bukan suatu prestasi yang tinggi dan cukup berarti, karena sebelum di PR puisiku telah muncul di beberapa media. Tetapi yang harus digarisbawahi aku tumbuh berkembang di tengah arusnya media massa. Puisiku ditempa waktu untuk sebuah kematangan. Puisiku dapat bertahan di derasnya badai penolakan redaktur. Akhirnya!

Perjuangan itu masih panjang. Keinginan-keinginan untuk dimuat di media yang lebih besar menjadi keinginan utama. Selalu puisi-puisi itu berjalin dan bersengkarut dalam hari-hariku dan aku sangat menikmati ini. Menulis adalah salah satu cara penyembuhan. Dimuat atau tidak dimuat. Dibayar atau tidak dibayar! Karena hal terpenting adalah berkarya.

Lafal untuk Sebuah Maaf

Tak jera dengan penolakan-penolakan itu, aku tetap membudayakan menulis dalam keseharianku. Minimalnya mengirimkan puisi melalui sms pada siapa saja yang tahu kesukaanku pada puisi. Mengirimkan puisi untuk teman-teman yang berada di sehampar nusantara ini selalu aku lakukan setiap minggunya. Yang penting mereka tahu aku selalu berproses guna menempuh kesempurnaan.

Semoga surel singkat ini dapat memotivasi teman-teman tanpa menganggapku tak mau berbagi ilmu. Apa hendak dikata, ketika kekuatan diri terkungkung dalam sebuah bisu kata, aku hanya mampu menuliskannya dengan rasa bersalah yang besar. Maafkan aku. Semoga tulisan ini menjadi suatu sensasi sepanjang berdirinya ASAS. Hahaha!

Salam,

DeHa

membaca_menulis_menulis_menulis_membaca