Selasa, 07 Agustus 2007

Menyoal Kejujuran

Salam,

Proyek Puisi

Sore itu MAT mengenalkan saya pada Saudara AI Tak berapa lama, saya pun terlibat dalam pembicaraan tentang proyek puisi yang mengambil tema-tema cerita rakyat. Bagi saya proyek itu cukup menantang. Mengubah teks prosa menjadi teks puisi.Sesuatu yang pernah saya lakukan untuk sebuah proyek yang lain. Pendek kata, saya menyetujui apa yang dipaparkan oleh Saudara AI. Dan akhirnya tergabunglah saya dalam sebuah tim, bersama rekan-rekan penyair yang lain. Saya hanya mengetahui beberapa orang yang tergabung dalam proyek ini, karena Saudara AI tidak menjelaskan dengan detail siapa yang ada di balik siapa.

Malam harinya, saya dikumpulkan bersama beberapa rekan yang lain, yang berasal dari 4 kota (waktu itu sedang berlangsung Temu Penyair), dan pembicaraan masih sama, yaitu: tentang penggarapan puisi. Bagaimana langkah kerja, cara dan waktu penulisan, segala hal yang berhubungan dengan proyek puisi.

Esok harinya. Seharusnya naskah diantarkan pada saya dan J. Ya, seharusnya karena Saudara AI telah menyatakan kesediaan untuk mengantarkan naskah itu pada kami. Mungkin, karena kesibukan-kesibukan yang lain naskah itu tak jadi diantar. Saya pun berinisiatif untuk mengambil naskah itu, sebelum pulang ke Bandung. Akhirnya J yang mengambil naskah dan juga mewakili saya yang sedang sibuk menyiapakan kepulangan.

Akhirnya naskah ada di tangan saya dan J, beserta uang dalam amplop putih sebesar Rp. 300.000,- Saya dan J tak pernah menyangka akan mendapatkan profit, karena Saudara AI tidak pernah membicarakan persoalan uang dalam proyek ini.

Yang ada dalam benak saya ketika mendapatkan penawaran penulisan puisi, adalah tantangan. Sebuah tantangan yang akan melengkapi proses pembelajaran saya dalam dunia tulis-menulis.

Kaget tentu saja. Saya berpikir, saya belum menulis, saya belum menyelesaikan sebuah pekerjaan yang kini menjadi tanggung jawab saya, tetapi saya sudah diserahi amplop yang bertulisakan nama saya. Rasa-rasanya saya mengenal tulisan tangan yang ada di atas amplop tersebut. Tak ada perjanjian tertulis dalam proyek ini. Selain itu, saya pun membawa amanat untuk menyerahkan amplop putih lainnya untuk FS. Dan sesampainya di Bandung saya menyerahkan amanat itu, menjelaskan bagaimana sistematika proyek itu.

Menyoal Kejujuran

Sampai hari ini saya belum mengerjakan tanggung jawab saya terhadap naskah itu. Lukisan pun baru diterima dua minggu yang lalu. Dan yang pasti saya masih berkonsentrasi pada penelitian skripsi yang sedang saya garap dan persiapan sidang di pertengahan maret nanti.

Beberapa hari lalu saya mendapat kabar tak sedap tentang proyek ini. Itu mengapa saya meluangkan waktu, untuk menulis surat dan dikirimkan via mail.

Proyek ini adalah sebuah tugas, tanggung jawab yang harus diselesaikan oleh Saya, J, dan FS Dan itu akan terselenggara dengan baik, jika komunikasi terjalin dalam tataran saling percaya. Mengapa tiba-tiba saja, saya meragukan sebuah kejujuran. Saya percaya pada individu-individu yang tergabung dalam proyek ini. Bagi penyair, kejujuran adalah hal utama dalam menuliskan karya. Sama halnya dengan ketika saya berinteraksi dengan sesama. Kejujuran adalah barang mahal yang tak dapat ditukar dengan uang atau dengan apapun.

Dan kabar yang saya dengar itu adalah tentang pemberian profit yang diselewengkan. Mungkin saya terlambat mengetahui kabar ini, mungkin saya tak akan tahu jika FS (Rekan dalam proyek ini) tidak memberikan informasi yang sebenar-benarnya. Setelah komunikasi antara FS dan Saudara MMD via sms, barulah saya mengetahui bahwa sebenarnya profit yang diberikan kepada penulis bukan Rp. 300.000,- tetapi lebih. Saya tidak mengetahui berapa seharusnya profit diberikan dan saya pun tidak akan menggugat perihal ke mana larinya sebagian profit yang hilang itu.

Harus diingat, kepulangan saya dari kota budaya, Yogyakarta membawa sebuah amanat, sesuatu yang harus disampaikan dengan sebaik-baiknya. Saya pun menyampaikan pesan kepada yang bersangkutan tentang apa-apa yang saya dengar.

Beberapa hari yang lalu saya baru tahu ternyata dalam proyek ini terdapat tindak korupsi.

Semoga saya tak salah ketika menggunakan diksi korupsi. Tidak salah bukan?

Yang akan saya soroti adalah perihal kejujuran yang tergadaikan. Saya kira, tindak korupsi hanya ada di kalangan para pejabat, dan nyatanya budaya korupsi memang telah membudaya. Untuk lingkaran kecil seperti tim dalam proyek ini budaya itu ternyata telah mengakar.

Bagi saya kejujuran adalah utama. Kejujuran adalah sebuah prinsip yang harus dipegang oleh setiap individu agar tak salah langkah. Saya tak akan berpanjang-panjang memaparkan tentang kejujuran. Setiap orang dapat mendefinisikan sendiri, saya yakin setiap orang memiliki hati nurani. Semoga saja, nurani itu belum terbelenggu ion negatif.

Saya tegaskan kembali, saya hanya mempermasalahkan soal kejujuran yang tergadaikan! dan bukan hal yang lainnya. Semoga dapat dijadikan pembelajaran bagi diri saya dan yang lainnya. Karena jika kejujuran telah rusak, maka hanya hati yang dapat merasakan kekecewaan. Dan yang pasti kepercayaan itu tak kembali utuh seperti dulu.

Selanjutnya tunggu saja kiriman puisi saya, tanggung jawab itu akan saya selesaikan dengan baik. Maaf, jika ada kata-kata saya yang mungkin menyindir beberapa pihak. Maaf, jika ada kata-kata yang salah. Ini adalah isi hati saya, karena kebenaran harus ditegakkan!

Salam,

DeHa

Keliling Perpustakaan

Salam,

Aku dan Perpustakaan

Senang rasanya dan sungguh aku adalah seseorang yang berbahagia dapat mengetahui pengalaman-pengalaman Kakak di perpustakaan. Jika diingat-ingat, perpustakaan adalah jalan yang membawaku ke dunia sastra. Dulu, ketika di kelas 2 SMU , ketika jam-jam istirahat atau jam pelajaran kosong aku paling sering main keperpustakaan. Ya main, karena di bagian dalam perpustakaan itu akan aku dapatkan sebuah ruangan yang menjual beberapa jenis makanan. Selain itu, perpustakaan bersebelahan dengan ruang kelasku. Jangan bayangkan sebuah ruangan yang besar, perpustakaan itu hanya seluas ruangan kelas, sama dengan ruangan-ruangan yang lain. Di dalamnya terdapat berjajar-jajar rak buku yang isinya hanya buku-buku wajib dari diknas. Satu lemari kaca yang isinya kamus-kamus, dan satu lemari kaca lainnya yang berisi buku-buku umum. Dua lemari kaca itu selalu terkunci rapat, sesekali dibuka jika ada guru yang membutuhkan salah satu buku dalam lemari tersebut. Suatu ketika, lemari kaca terbuka dan penjaga perpustakaan sedang berada di ruangan yang lain. Bayangkan ada ruangan lain di dalam perpus, tempat shalat yang menyatu dengan kamar kecil tempat penjaga sekolah tidur di setiap malamnya. Aku pun asyik membacai satu per satu buku-buku yang ada dalam lemari. Tak ada yang menarik bagiku ketika itu, sampai akhirnya aku mengambil buku "Layar Terkembang" karya STA. Aku pun membaca buku itu dengan santai layaknya membaca buku-buku wajib diknas. Karena harus masuk kelas, akhirnya aku pinjam buku tersebut dan kubawa ke rumah untuk dibaca habis. Waktu itu aku tidak tahu kalau buku yang kubaca tersebut adalah buku berjenis sastra. Yang kutahu, buku itu enak dibaca dan aku ingin tahu akhir ceritanya.

Setahun kemudian, buku itu mengantarkan aku mendapatkan beasiswa untuk bimbel disebuah lembaga swasta yang menurutku biayanya mahal. Hanya dengan menjawab sebuah pertanyaan aku mendapat kesempatan untuk bimbel, persiapan Ujian Akhir Nasional. Kakak tahu, aku hanya menjawab pertanyaan: Tuti, Maria, dan Yusuf, adalah tokoh dalam buku? Tak ada yang menjawab dengan benar, kecuali aku yang memang pernah membaca buku itu. Dari situ aku sadar, bahwa yang kubaca waktu kelas dua adalah sastra. Ketika semua anak jago menjawa pertanyaan eksakta, kusadari tak ada yang menjawab dengan benar pertanyaan mengenai buku sastra. Setelah kejadian itu, aku kembali membaca buku-buku dalam lemari kaca. Memilah, karena saat itu aku tahu ini buku sastra (cerpen, novel) dan itu bukan buku sastra. Di meja-meja perpustakaan sekolahku, terdapat beberapa majalah umum. Iseng-iseng kubaca dengan ketaktertarikan,

ada beberapa puisi di halaman majalah-majalah itu dan kubaca "kaki langit". Setelah beberapa tahun kemudian, ketika aku berada di bangku kuliah, aku baru menyadari bahwa majalah yang kubaca tempo lampau adalah majalah sastra. Sungguh, ketika di SMU aku tak mengetahui bahwa itu adalah majalah khusus sastra, bahwa kaki langit adalah bagian dari Horison. Kakak jadi tahu bukan, bagaimana sastra diajarkan di bangku sekolah. AKu tak ingin menyalahkan guru bahasa Indonesia, tapi begitulah keadaannya. Aku berkenalan dengan sastra Indonesia karena kebetulan aku kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sebuah kebetulan, karena keinginan utamaku adalah jurusan Biologi. Namun aku bersyukur, hingga aku menyadari posisi bahwa: perpustakaan adalah media yang membawaku secara tidak langsung ke dunia kepenulisan.

Rekreasi Perpustakaan

Pengetahuan yang sedikit tentang sastra, membawa aku ke perpustakaan daerah. Sayangnya gara-gara perayaan konferensi Asia Afrika sampai saat ini perpustakaan daerah tersebut dipindahkan, di wilayah yang sangat jauh dengan rumahku. Jika dulu memerlukan waktu satu jam untuk menjangkau perpustaan tersebut, sekarang memerlukan waktu 2-3 jam dan biaya angkutan kota yang sangat mahal. Ketika Masih belum dipindahkan, dua minggu sekali datang ke perpustakaan untuk pinjam buku atau cari buku sumber untuk tugas-tugas pelajaran di sekolah. Buku-buku yang kubawa pulang adalah cerpen dan novel, sedangkan buku puisi aku baca di perpustakaan dengan alasan dapat dibaca sekali waktu di tempat, berbeda dengan buku lainnya yang tebal-tebal. Ya itu sebagian kecil cerita tentang aku dan perpustakaan. Kakak tahu, perpustakaan kampusku memang memiliki gedung yang megah, 4 lantai! Lantai dasar adalah UPI Net. Tempat adik-adik kelas yang mengakses internet dengan murah, ya murah, karena sebagian dana telah dibayar di awal semester, ketika melakukan registrasi.

Lantai pertama menyediakan buku-buku untuk berbagai jurusan, buku-buku seluruh fakultas ada di lantai ini, dan buku-buku sastra hanya terdapat dua rak, buku-buku bahasa satu rak. Lantai berikutnya adalah ruangan skripsi, tesis, dan disertasi. Masih dilantai yang sama disediakan koleksi majalah-majalah, kamus, ensiklopedia, dan literatur lainnya (bahasa inggris dan lainnya). Lantai berikutnya digunakan untuk ruang kuliah. Saat ini UPI sedang gencar-gencarnya membangun dan mahasiswalah yang harus mengalah, karena harus menggunakan perpustakaan sebagai ruang kuliah. Jika kakak ke UPI tahun depan akan nyatalah sebuah Kampus dengan ratusan ribu ruang kuliah baru, belasan gedung-gedung megah, dan lain sebagainya. Hanya dua rak untuk sastra Indonesia, dan apa yang dapat dibanggakan? Maka tak heran jika mahasiswa di UPI selalu mencibir jika membicarakan perpustakaan.

Aku ajak kakak ke perpustakaan lainnya, yang pasti bukan perpustakaan daerah karena koleksi di pusda sangatlah komplit. Perpus ITB, hanya bisa diakses dengan bebas oleh mahasiswa ITB. Pernah sekali waktu main ke dalamnya dan menemukan perpustakaan yang sangat nyaman. Waktu itu aku barengan sama anak ITB, yah biar mudah masuk ke dalamnya. Buku-buku yang berhubungan dengan mata kuliah tersedia. Lantai selanjutnya koleksi bukunya lebih umum dan sastra ada di sini. Namun sayangnya kebanyakan bahasa Inggris, dan aku adalah seseorang yang tak lancar menggunakan bahasa ini. Perpus Pascasarjana Unpad, ruangan boleh besar tapi sama dengan UPI minim buku. Aku tidak tahu bagaimana isi perpus Unpad di jatinangor karena belum pernah ke sana yang pasti tentunya lebih komplit. Perpustakaan Bale Pustaka. Letaknya ada di jalan Jawa setahuku milik pastoral. Bukunya lebih komplit dibandingkan perpus UPI, dengan membayar keanggotaan 25 ribu pertahun kita bisa sepuasnya pinjam buku, film, dan mengakses internet gratis. Perpus Batu Api, letaknya di jatinangor. Di sini gudangnya buku bacaan, dari zaman baheula sampai zaman ayeuna pastilah ada. Pernah sekali datang, dan berfoto-foto di rak buku-buku tua. Di luar kota, jadinya cuma sekali dan belum pernah main lagi ke sana. Perpus Museum Sribaduga. Perpustakaan ini sangat berjasa besar untuk aku, karena secara tidak langsung membawa aku jadi juara II lomba cipta puisi yang diadakan Dewan Kesenian Riau. Di sini gudangnya buku-buku daerah se-Indonesia. Mau cari budaya apa, Insya Allah ada di sini. Masih banyak perpustakaan lain yang pernah kukunjungi tapi aku lupa nama perpustakaannya. Salah satunya perpus yang berada di kompleks militer. Data-data sejarah bisa ditemukan di perpustakaan di jalan kalimantan, jalan veteran, jalan-jalan lainnya di kota Bandung.

Aku yang Polos

Terima kasih menilaiku sebagai seseorang yang polos. Memang benar penilain Kakak ini, aku seorang yang masih polos di dunia tulis-menulis. Asyiknya menulis aku temukan ketika kuliah semester dua sampai sekarang. Awalnya, tak ada niat sedikitpun untuk berkarya, berhubung banyak kakak kelas yang menanyakan "mana karyanya?", "nulis apa hari ini?", dan segudang pertanyaan lainnya. Ditambah teman-teman kelas yang juga bertanya "Ingin baca tulisan Dee," "udah muat di mana aja?", dan lain sebagainya.

Dari pertanyaan-pertanyaan mereka aku mulai berpikir. O, berarti aku harus menulis, harus berkarya, dan harus dimuat. Sejak itulah (semester dua) aku menargetkan: nanti di semester tiga harus ada tulisanku yang dimuat, dan untuk menuju pemuatan aku harus banyak belajar, harus banyak membaca, dan harus berdisipilin diri. Maka puisi-lah yang menjadi batu loncatan pertamaku. Belajar merangkai kata, bergumul dengan kamus, berdiri berlama-lama di toko buku, belajar bikin e-mail, kirim tulisan, datang ke kantor pos setiap bulannya, datang ke acara diskusi buku, pameran buku, dan seabrek kegiatan yang mendukung aku dalan nuansa menulis. Sampai akhirnya target aku tercapai di semester tiga. Puisiku muat di dian sastro #2. Setelah itu, semakin menggebu-gebulah aku belajar menulis. Apalagi ketika seorang teman berkata "menulis adalah bakat", betapa inginnya aku mematahkan teori itu.

Dan sampai saat ini, menurutku, aku berhasil mematahkan perkataan temanku. Akhirnya dengan perjuangan yang keras, aku bisa menulis walaupun belum dapat dikatakan bagus.

Terus menulis dan membaca adalah usahaku yang paling keras. Dari seorang wartawan aku mencatat, "kalau mau dimuat di media luar, harus bisa muat di media lokal dulu", aku pun ingin mematahkan perkataan wartawan itu, akhirnya kirim ke media manapun. Namun jalan yang ini tak semulus target pertama. Akhirnya, mau tidak mau, aku harus mengiyakan perkataan wartawan itu. Setelah perjuangan kirim ke media lokal berkali-kali, akhirnya di tahun kedua puisiku muat di Pikiran Rakyat. Setelah pemuatan di PR, jalanku untuk muat di media lain agak-agak lancar. Sampai sekarang pun aku terus berusaha tetap menulis dan membaca di sela-sela rumitnya penelitian skripsi. Doakan ya Kak, skripsi dan sidangku berjalan lancar. Rencananya, aku sidang di bulan Maret dan diwisuda bulan April. Beberapa bulan ke depan, jadilah aku seorang Sarjana Sastra yang minim bahan bacaan tidak seperti Kakak yang bacaannya sudah mendui, hebatlah!

Kakak Tidak Seperti Itu!

Jangan lagi bilang, bahwa kakak adalah seorang anak haram dari sastra Indonesia. Anak yang sah itu yang seperti apa? Apakah harus kuliah di sastra? Apakah wajib membaca karya sastra dari Indonesia? atau kriteria apa, yang menyebabkan seseorang disebut anak haram atau anak sah dari sastra Indonesia. Selayaknya penulis lain, kakak adalah seseorang yang meramaikan jagat sastra Ind. dengan karya-karya kakak, seperti penulis lainnya, kakak adalah seseorang yang turut andil memperjuangkan budaya baca dan tulis yang masih sangat minim di Ind. Jadi, pantaslah kakak berbangga dengan semua yang telah kakak raih dan kakak perjuangkan. Dan yakinlah, suatu saat kakak akan menjadi sejarah seperti yang Pramoedya katakan: "Menulislah. Selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah."

Semoga, aku tidak membuang waktu kakak dengan percuma, semoga kakak masih mau berbagi banyak hal tentang menulis, atau mengenai apapun. Yang pasti, aku senang dengan semua ini: perjumpaan dengan Kakak, membaca karya-karya kakak, dan berkomunikasi dengan Kakak. Pokoknya: SIPLAH!!!

Oya, kapan kakak buat antologi cerpen terbaru? Nanti kirimi aku ya.

Salam,

DeHa

Perempuan dari Mayapada

SudutBumi, dalam tahun Masehi.

Kepada seseorang yang belum kutemui.

Sebuah perkenalan…

Takdir pun mengantarkan kita pada sebuah perkenalan. Saat kuasa Tuhan menjadikan aku, kamu, berpandangan dalam fatamorgana. Begitu maya dalam siang yang memurba. Lalu mencoba menyiasati kisah melalui telepon dan pesan-pesan singkat di larut malam.

Pertama adalah sebuah perkenalan

Pertama adalah sebuah keisengan

Pertama adalah sebuah kerinduan

Mungkin itu yang aku rasa, ketika kerap kali telepon yang datang di pagi hari, siang hari, atau sore hari membiasakan aku menanti datangnya dering nada-nada monophonik ponselku. Lalu aku pun menjadi terbiasa mendengar suaramu.

Masih aku ingat, apa yang kita bicarakan adalah hal-hal sepele. Entah karena kita tak pernah memikirkan berapa pulsa yang dikeluarkan, atau hanya sekadar main-main mengisi waktu luang yang kiranya kita punya.

Terus terang, setelah teleponmu yang pertama, kedua, dan ketiga ada harap dalam hatiku, entah apa….

Ada semangat yang tiba-tiba berkobar setelah ponsel terlepas dari genggaman. Dan emosi yang aku miliki memuncak ketika suatu hari kamu tak menghubungiku, entah… aku tak tahu, mengapa akhirnya begini.

Percaya kata hati? Mungkin aku adalah salah satu orang yang percaya kata hati atau firasat. Logika pun sering kali kalah, karena aku berpegangan pada kata hati. Selama ini aku berjalan menuruti kata hati, bertahan dalam hidup, lingkungan, yang memaksa aku timbul tenggelam di dalamnya.

Dengan kekuatan hati ini akhirnya aku mampu bertahan, lalu kamu menjadi candu dalam keseharianku. Candu yang akan selalu membuat aku sakau jika dirimu tak hadir menyapa.

Banyak tanya yang menggunung di hatiku mengenai dirimu.

Aku tak pernah tahu siapa kamu, dirimu, hidupmu, keluargamu, lingkunganmu, aku tak menahu. Sama sekali aku tak tahu.

Dan maaf jika kehadiranku menggangu hari-hari yang kamu jalani.

Betapa aku menikmati suaramu, logat daerah yang mengental dalam dirimu, juga kalimat pendek­­__tetap dengan kedaerahan__yang kau bangun dalam pesan-pesan singkat.

Inilah aku…

Mengapa kamu tak percaya bahwa aku seorang tomboy?

Perempuan yang harus bergelut dengan waktu hanya untuk bertahan dalam hidup yang semakin durjana. Perempuan yang harus menyiasati setiap gerak langkah dalam kesendirian. Perempuan yang mau tidak mau harus menjadi tegar, karena hidup yang aku alami terlampau sulit. Perempuan yang tidak mengenal air mata, tidak mengenal kasih sayang, tidak mengenal kebahagiaan.

Terimakasih Tuhan…

Tuhan mengirimkan kamu dalam ketakpercayaan. Karena setelah hadirmu, aku dapat merasakan bahagia. Bahagia yang semu, maya, fatamorgana, oase, tak nyata, semua samar karena aku tidak tahu siapa kamu sebenarnya. Tiba-tiba saja hadirmu memberi sedikit rasa dalam sunyiku.

Kamu tahu mengapa aku menyukai sunyi?

Kesunyian adalah abadi. Dalam sunyi aku ingin membangun sebuah keriuhan. Dalam sunyi aku dapat merasakan hidup, dan kini aku telah menyetubuhi sunyi. Melahirkan gejolak rasa melalui rahim suciku.

Aku kaget membaca sms darimu

21.03.2005 21.30

Bandung kota kembang yg tlh menjadi kota kambing dimana gadis2nya sdh tdk perawan lg! (aku tikus, kucing penggalan lagu doel sumbang yg saban hr kudengarkan

Betapa tidak, kota yang aku cintai ternyata di luaran sana telah dikenal sebagai kota yang tak lagi suci.

Kamu tahu betapa aku mencintai Bandung.

Kota yang telah menjelmakan seluruh kenangan hidupku sampai saat ini. Ketika dulu, aku terjerembab, jatuh dalam sawah yang sedang dibajak. Tubuh kecilku dibungkus lumpur pekat, yang aku ingat tak ada air mata saat itu. Lalu jalanan kota Bandung yang membuat aku betah. Bagaimana nikmatnya berjalan kaki di Braga, bangunan Belanda, gedung-gedung tua, tiang-tiang penyangga Landmark.

Dan kini aku tetap mencintai Bandung yang tak lagi perawan. Ketika caci maki menghujat tubuhku. Seorang nenek memaki aku pagi-pagi sekali. Seorang lelaki tua menuduh aku pencuri, bahkan mungkin pohon-pohon yang kini tak ada lagi __karena pembangunan jembatan layang Pasupati__menertawakan aku. Tertawa yang begitu jemawa, melihat aku berjalan sendiri menghadiri acara Dago Festival. Acara tahunan yang di sponsori sebuah merk rokok.

Bandung, mungkin suatu saat harus aku tinggalkan, karena takdir Tuhan. Karena hidup adalah sebuah pilihan, dan aku tahu Tuhan baik padaku dan akan memberikan yang terbaik pada hidupku. Jalan hidup yang telah dituliskanNya pada sebuah masa.

Kalau boleh tahu, kamu merokok? Semoga saja tidak. Setahuku rokok dapat mempercepat kematian seseorang. Kamu tidak ingin mati muda seperti Chairil Anwar.

Kalau kamu merokok, aku maklum. Seperti sudah menjadi icon bahwa lelaki adalah perokok, dan itu terserah kamu.

Kota Pahlawan…

Akankah kamu menjelma menjadi pahlawan, setidaknya bagi dirimu sendiri. Lalu menjadi kebanggaan keluargamu dan lingkunganmu. Ataukah kamu akan menjadi buaya sebagaimana perlambang kota ini. Aku ingatkan kamu agar tak salah memilih dan menapaki jalan hidup.

Dunia maya, akh aku ingat sms darimu

23.03.2005 23:32

Horizon adl garis maya pd suatu saat kt harus berhenti pd sebuah titik.bljarlah u mencari titik dimana nantinya kt akan berhenti.aku akan berdoa u bs bertemu

Dan pertanyaan yang tak salah jika aku tanyakan kembali padamu saat ini, akankah pertemuan itu terjadi? Aku hanya dapat menantikan arah datangnya pertemuan itu. Ataukah kita akan tetap menjadi semu, seumpama bulir-bulir embun pagi yang menguap tiba-tiba, ketika matahari dengan angkuhnya menyirnakan semua harapan.

Meditasi…

Adalah sebuah perenungan jiwa ketika kontemplasi yang kujalani tak menghasilkan apapun, dan jiwa tetap kosong. Rasa terkejut yang tiba-tiba datang, lamunan-lamunan yang tak dapat aku hindari. Beban berat yang sebenarnya tidak pernah aku tanggung menjadi ketakutan bagi diri. Ada apa denganku? Itu yang aku rasakan akhir-akhir ini, hingga aku meminta bantuanmu mencari solusi untukku.

Lagi-lagi terima kasih, karena hadirmu telah memberi sedikit kelegaan dalam hatiku yang kosong. Beban berat yang aku sendiri tidak tahu apa itu, atau apapun itu, dan aku tak ingin memikirkannya. Beri tahu aku cara menjalani meditasi yang kau ceritakan, jelaskan secara singkat namun aku dapat mengerti. Aku tertarik dan ingin mencobanya.

Sedap Malam…

Ada rindu yang selalu dihantarkan sedap malam melalui penciumanku. Rindu pada kesucian tubuh. Ketika ritual Ramadhan aku lalui, gema-gema takbir berkumandang, ketupat dan opor ayam tersaji di meja makan. Begitulah, kerinduanku terhadap Idul Fitri, sebuah kesucian abadi ketika upaya pendekatan jiwa raga kita pada Tuhan sang pemilik Semesta.

Rindu yang hanya terlampiaskan satu tahun sekali, rindu yang begitu suci bukan?

Parangtritis, Jogja, Bromo, Jayagiri, Tangkuban Perahu, Indonesia…

Kau tanyakan padaku sebuah identitas kenegaraan. Dan ternyata aku bukanlah seorang Indonesia sejati. Ketika kota-kota yang aku datangi, hutan-hutan yang aku jelajahi, semua hanya mengarah pada keagungan Tuhan, bukan wujud kenegaraan.

Di hamparan semesta, hanya ada diriku yang begitu kecil. Saat kabut-kabut Tangkuban Perahu mengepungku dan memenjarakan aku dalam dzikir khusuk. Lalu doa-doa terucap, harapan yang ditumbuhkembangkan.

Semoga suatu saat kamu mau mengajak aku ke tempat yang telah kamu datangi. Kembali mengunjungi Parangtritis, Bromo, dan berbagai tempat yang belum pernah aku datangi. Semoga saja datang kesempatan padaku mengunjungi tempat-tempat itu bersama atau tanpa kamu. Agar aku dapat diakui sebagai Indonesia sejati (itu katamu).

Janganlah berpaling…

30.03.2005 23:12

Sory, br tak buka smsm. Thank diingatin,ya. Lg ngapain uda mimpi ya, ato msh ngerjain tgs dosen yg menyebalkan,jgn lp klo mo bobo cuci kaki, dan bayangin wajahku, ya!

Membayangkan wajahmu??? Bagaimana bisa… dari suara yang aku dengar, aku tidak dapat membayangkan raut wajahmu. Sosokmu, tubuhmu, dan semua hal tentang dirimu. Semua begitu samar bagiku. Maafkan aku tidak dapat membayangkan dirimu.

Seperti yang telah kita sepakati, saling tukar foto. Aku harap setelah tahu gambaran diriku, melihat dengan nyata bagaimana wajahku, kamu tidak berpaling. Tetaplah menjadi seseorang yang dapat membangun kebahagiaan, setidaknya di hatiku.

Yang harus kamu ingat, foto adalah lukisan cahaya. Di mana warna yang tergambarkan adalah bagian maya dari diriku. Dan sesuatu yang maya itu harus kau cari hingga jadi nyata. Tetaplah bersetia pada waktu, walaupun aku tahu waktu tak pernah setia karena waktu akan selalu berubah. Dan perubahan adalah abadi.

Kini…

Aku menunggu balasan darimu, jawaban-jawaban yang tertulis melalui korespondensi juga fotomu, agar aku dapat membayangkan wajahmu (sesuai keinginanmu). Ceritakan apa pun yang ingin kamu ceritakan, siapa dirimu, keluargamu, lingkunganmu, dan hal apapun yang tidak aku ketahui.

Terima kasih…

Telah hadir dalam hari yang aku jalani, walaupun berawal dari iseng yang kamu bangun. Tetaplah memberi semangat padaku, semangat untuk tetap dapat merasakan damai di hati saat aku angkat ponsel dan siap mendengar suaramu.

Salam kelengangan,

perEMPUan dari Mayapada

Siluet Bayang Mama

SudutBumi, 24 Maret 2006


Teruntuk Mama

di rumah sederhana




Assalamu’alaikum wr.wb.

Ma… selepas subuh hari ini, tiba-tiba saja aku dilingkup rindu yang sangat. Ingatan masa kecil berloncatan dan memanggilku untuk mengenangkannya kembali. Berlarian di pematang sawah, menyaksikan pelangi setelah hujan turun, menanti kepulangan Bapak yang hanya dua minggu sekali.

Tak terasa masa kecil itu berlalu seiring waktu dan memaksaku meninggalkan kampung halaman di batas kaki gunung. Banyak peristiwa yang berjalin di benakku, namun kenangan itu tak hilang, karena setiap lembarnya telah aku rekam dan aku simpan baik-baik.

Seperti pagi itu ketika aku terjerembab, jatuh ke sawah yang sedang dibajak. Anak-anak kecil seusiaku menertawakan, mengejek karena tubuh kecilku dibalut lumpur pekat. Engkau langsung menggendongku tanpa pedulikan baju yang jadi kotor. Menasehatiku dalam isak yang tak henti-henti. Memandikan aku dengan air suam-suam kuku, lalu menghiburku. Agar reda tangisku, engkau membawaku ke warung dan membelikan beberapa butir permen. Tak ada kemarahan yang terlintas di wajah sendumu. Masih kuingat pula senyummu yang merekah tatkala tangisku reda.

Ma… di usiaku yang menjelang dewasa ini, aku ingin kembali ke masa lalu. Merasakan setiap belaian, mendengarkan cerita menjelang tidur, menikmati bubur kacang hijau yang tersaji setiap pagi. Aku pun ingin merasakan lelahnya pergi ke pasar setiap hari minggu. Memilih ikan mas untuk digoreng atau sayuran segar yang disukai Bapak. Betapa setiap peristiwa menimbulkan jelaga kecintaan pada Mama.

Hari-hari penuh kerja keras. Betapa aku ingin cepat menyelesaikan kuliahku, memberikan sedikit kebanggaan di hati Mama. Pulang ke rumah dengan beribu keberhasilan. Menceritakan semua peristiwa di sepanjang hariku, mencipta berlipat kebahagiaan.

Di kota ini aku belajar mandiri, menghindari laku buruk yang bertebaran di depan mata. Berkonsentrasi pada buku-buku yang menumpuk di kamar untuk segera aku lahap. Mencari teman yang tepat dan mendiskusikan berbagai hal. Ternyata masih banyak kerja yang harus diselesaikan.

Selalu dalam doa-doa panjang kusebut namamu. Di tengah gempuran hidup yang tak usai-usai, kucermati setiap langkah agar tak lelah harimu. Membidai ruang waktu yang berjarak demi sebuah perjuangan.

Hari ini tepat 60 tahun peringatan Bandung Lautan Api, peristiwa yang pernah Mama ceritakan ketika aku tak mengerti dengan pelajaran sejarah di sekolah. Sejarah yang patut dikenangkan, karena hari ini adalah imbas masa lalu, rangkaian panjang sebuah kisah hidup yang harus diselesaikan.

Tidak akan pernah kusia-siakan usaha Mama menghidupi keluarga membantu Bapak. Tak akan juga kubuang waktu dengan percuma. Semua yang terbaik untuk Mama, semua akan aku usahakan.

Hujan di kota ini tak pernah meluruhkan setiap jejak keras kehidupan. Ketika jeda panjang kudapati hanya ada kasih sayang yang selalu merona di ujung hari. Semua meruah, berbekas, dan takkan pernah tergantikan sepanjang hayat. Bumi ini selalu menghadirkan siluet bayang Mama. Ketika bertandan-tandan kerinduan tak terlunasi, hanya pada Sang Semesta kucurahkan rindu ini, aku cairkan bersama lantunan ayat-ayat suci.

Ma… selalu doa-doa kutetaskan bagimu. Merepihkan setiap senyuman demi kepulangan yang dinantikan. Harapan dan cita-cita itu akan aku raih dengan restumu. Doakan aku juga Ma, agar setiap langkahku berada di titik paling sempurna.




yang selalu merindu,

ananda DeHa