Sabtu, 28 Juli 2007

Kelahiran Perempuan Kupukupu

SudutBumi, 8 Mei 2006

Teruntuk Sahabat,

Di persinggungan batas maya

Intro

Sedekat apakah kau dengan matahari?

Tak berjarak bukan, karena kau menjamahnya tiap hari

Awalan

Tiba-tiba saja di akhir Desember aku dikejutkan dengan nama baru yang hadir di inbox e-mailku. Nama yang aneh, namun begitu saja lekat dalam ingatanku. Koto, ya nama ini menumbuhkan suatu tanya yang besar. Siapa sih sosok ini? Terus terang aku mencari tahu pada beberapa kawan di luar kota. Hasilnya? Sosok ini tetap terkungkung dalam sebuah misteri. Hingga akhirnya aku menemukan nama ini di sebuah kumpulan puisi yang dipersembahkan bagi kepergian Munir. Tak lama berselang, seorang kawan memperlihatkan cerpen __yang ditulis sosok misteri ini __di sebuah situs internet, sempat juga mendapat referensi tambahan. Bahwa Koto adalah alat musik di Jepang yang dimainkan dengan cara dipetik(di Indonesia, dikenal dengan nama kecapi), bahwa Koto adalah sistem pembagian nama daerah di Riau, bahwa Koto berarti kota, bahwa Koto adalah sosok yang akhirnya mengirimi surat dengan membuka siapa jati dirinya.

Begitulah…

Akhirnya aku mengetahui sedikit siapa sosok tersembunyi ini. Sosok yang kini tak lagi misteri (walau pun aku tak menahu bagaimana raut wajah yang dimilikinya), sosok yang sempat membuat aku cemburu karena pernah membandingkan aku dengan cerpenis dari Sumatera. Kau harus tahu, perempuan tak pernah ingin dibandingkan.

Karena kau mengetuk pintu terlebih dahulu, maka sudah sepantasnya aku mempersilahkan kamu masuk dan duduk di dalam sebuah rumah duka, yang hanya memiliki satu pintu, dua jendela, serta alun angin yang akan membelai kulitmu setiap saat. Akan aku suguhkan segelas air putih yang langsung diambil dari mata air di kaki gunung, di mana rumahku berada. Kau pun dapat menyaksikan dengan damai bagaimana rumpun bambu saling mengangguk, bisunya tebing-tebing pasir, heningnya gunung Tangkuban Parahu.

Koto, ya aku akan memangilmu Koto.

Ketika aku menulis balasan suratmu aku dalam keadaan tidak sehat, mungkin karena beberapa pekan terakhir ini aku disibukkan dengan penelitian dan berbagai lomba kepenulisan yang aku ikuti. Puncaknya, ketika aku menjadi pemateri sebuah training jurnalistik. Sungguh! Semua telah menyedot kekuatan fisik dan pikiranku. Semoga saja, saat kamu membaca surel ini aku sudah berada dalam keadaan sehat. Doakan saja!

Walaupun dalam keadaan yang tidak begitu sehat, kemarin aku memaksakan diri menghadiri sebuah pertemuan yang membahas tentang "menulis ekspresif". Sungguh aku bosan dengan berbagai materi yang bagiku melulu itu-itu saja. Namun karena ingin menikmati suasana yang baru, teman baru, dan pengalaman baru akhirnya aku datang juga ke pertemuan itu. Ternyata, semuanya mengandung hikmah. Aku mendapat teman baru, suasana baru, dan karakter-karakter baru.

Kau tahu, aku adalah perempuan yang masih dapat bertahan tanpa menggenakan jilbab atau kerudung. Aku adalah sosok cuek, tomboy (kata beberapa teman perempuan), keras hati, liar, ya dapat disebut tak memiliki hati nurani. Karenanya aku mampu membenci setiap orang yang tingkah lakunya membuat aku muak, aku dapat menyakiti hati orang lain hingga terluka, dan aku dapat berbuat apa pun semauku. Sangat-sangat liar bukan?

Semua perempuan muslim di kelasku mengenakan jilbab, kecuali aku dan empat orang kawanku yang lain. Kamu dapat bayangkan, aku yang liar ini berada dalam tatanan kehidupan yang serba "perempuan". Akh membosankan!

Dan pertemuan itu mendaulat aku sebagai satu-satunya perempuan tanpa jilbab. Sepertinya aku tersesat, salah dunia, tapi ini kenyataan yang harus aku lewati. Bukannya tak ingin menggunakan jilbab, tapi masih ada seribu satu alasan lebih aku memilih jalan seperti ini__tanpa penutup kepala. Aku berharap Tuhan tak marah dengan kelakuanku yang salah ini. Aku sadar bahwa telah menjadi ketentuan agama bahwa perempuan harus menutup aurat, sangat sadar. Tapi apa mau dikata, hatiku belum berkehendak demikian, jiwaku masih ingin mengembara ke dunia-dunia kotor bagi Tuhan. Dengan kesadaran ini pula, aku mencoba hidup dalam kesantunan berpakaian, setidaknya bagiku.

Koto, kamu jangan terlalu menilai aku sebagai individu yang berdisiplin dalam tulis-menulis. Sudah tiga bulan terakhir ini aku malas menulis. Bayangkan dalam sebulan aku hanya menulis tiga puisi, tak lebih. Sebenarnya aku sangat ingin selalu memiliki kelebihan waktu untuk menuangkan gagasan dalam pikiran dan lamunanku, tapi tak bisa. Apalagi saat ini aku sedang mengerjakan skripsi. Sudah sebulan aku mendiamkan bahan penelitianku ini, rasa malas itu selalu membelitku. Malas, teramat malas! Sudahlah aku tak mau berpanjang lebar tentang skripsiku ini. Yang pasti, aku menargetkan tahun ini aku meninggalkan bangku kuliah, semoga Tuhan yang selalu baik padaku memberikan kekuatan untukku. Melepaskan ketertinggalan.

Puisi

Mungkin aku harus lebih banyak belajar padamu, yang sejak SMU mengenal puisi. Perkenalanku dengan puisi baru dimulai ketika aku duduk di semester dua perkuliahan. Semester pertamaku hancur, nilai-nilai mata kuliah sangat pas buat naik tingkat. Semester dua aku baru sadar, bahwa lingkunganku adalah Bahasa dan Sastra Indonesia program nonkependidikan (UPI lebih banyak mencetak guru), yang mencetak aku untuk jadi seorang peneliti yang tangguh. Banyak teman-temanku sepertimu, mereka telah mengenal sastra dari SMU, sedangkan aku? Aku benar-benar tersadar ketika berada di semester dua. Karena desakan dari kakak kelas dan lingkungan akhirnya aku menargetkan diri bahwa semester tiga harus ada tulisanku yang muat di media, entah itu puisi, cerpen, entah itu koran atau buletin kampus sekalipun.

Akhirnya aku mulai berproses mengenali puisi, mencoba berkawan dengan karya seni yang indah ini. Membaca puisi teman, membaca puisi senior-senior di ASAS, membaca puisi di koran, sampai puisi-puisi di cybersastra aku baca. Lalu aku belajar menulis puisi, menggabungkan kata per kata. Hingga akhirnya aku mampu menulis puisi yang biasa-biasa saja. Membaca puisi penyair-penyair besar, membaca buku teknik penulisan, semuanya aku lakoni. Kamu tahu, puisiku pada awal-awal berproses sama dengan puisi anak SD. Aku mengakui ini, dan beberapa teman sependapat denganku. Puisi anak SD? Betapa menyedihkan bukan? Aku yang mahasiswa ini disamakan dengan anak SD. Tak apa! Karena ini semua berawal dari keberprosesan.

Setiap minggunya aku membawa sepuluh puisi ke sebuah toko buku bernama Wabule (Warung Buku Lesehan). Di Wabule telah menanti seorang kakak kelas yang akan "membantai" puisi-puisiku, darinya aku banyak belajar puisi. Bagaimana memadatkan kata, membangun metafor dalam puisi, belajar makro dan mikro semesta yang kemudian dialihkan pada bait-bait puisi. Begitulah, setelah ilmu puisi yang dimiliki kakak kelasku habis "diturunkan" padaku, aku dibiarkan berkelana sendiri. Seperti saat ini, aku masih belajar menghidupkan ruh dalam puisi.

Tahun 2003 puisiku muncul di Dian Sastro, kamu tahu bagaimana rasanya? Aku histeris mengetahui kenyataan ini. Setidaknya ada beberapa gelintir orang yang menyukai puisiku. Target semester tiga, terwujud. Setelah pemuatan itu motivasiku untuk selalu menulis melambung tinggi. Sedikit sombong, aku dapat melampaui beberapa teman seperjuangan. Bangganya bukan main. Gila! Ada orang yang menghargai puisiku yang biasa-biasa itu. Wah! Aku benar-benar tidak menyangka. Setelah pemuatan itu aku masih terus belajar menulis puisi. Salah satunya aku membiasakan diri menulis puisi setiap hari, biar jelek sekali pun aku harus menulis, menulis dan menulis.

Mei 2005 aku mengalami kegelisahan di puisi. Akibat dari kegelisahan ini puisiku berubah, baik dari isi atau pun tipografi. Beberapa kawan pun tak mengira puisiku jadi berbeda. Ternyata aku sempat juga mengalami kegelisahan dalam berpuisi, sebelumnya aku tak sempat membayangkan ini. Koto, kamu pernah mengalami kegelisahan dalam berpuisi? Semoga tidak begitu meresahkan seperti apa yang pernah kualami. Saat itu yang aku pikirkan hanyalah sebuah kalimat, "Kok aku membuat puisi yang jelek sih!" Kalimat ini memotivasi aku untuk terus bereksperimen dalam puisi. Kamus adalah salah satu senjataku, untuk bermain-main kata. Selain kamus, senjata lain adalah laki-laki.

Benar katamu, tidak setiap peristiwa dapat aku bubuhkan jadi lantun puisi. Mereka itu licin bahkan teramat licin. Mudah mengabur, sulit diterka, dan terus berkembang dalam ruang-ruang imajinasi yang membumi. Akh….

Jati Diri

Koto, kamu telah membuka lembaran masa lalu dan membaginya padaku. Terima kasih, karena kamu telah memercayai aku sebelum pertemuan mewujud. Dan kau pun memberikan satu kesempatan untukku membeberkan siapa aku, memberikan sebuah ruang di ingatanmu untuk seorang kawan di persinggungan batas kemayaan.

Ketika kau menuliskan bilangan usiamu, entah apa yang terjadi dalam pikiranku. Yang pasti, ketika kau menuliskan 23, aku mengira usiaku 19 tahun. Aku juga tak mengerti mengapa hal ini terjadi. Aku meyakini usiaku 19 tahun, padahal 22 tahun. Tak jauh bukan dari usiamu.

"Anti Sentuh" begitulah aku dikenal teman-teman dekat di kampus. Istilah perempuan anti sentuh tiba-tiba saja menempel dalam keseharianku. Bagaimana tidak, tubuhku akan menghindar secara refleks jika bersentuhan secara sengaja atau tidak sengaja. Aku akan menjerit histeris, dan langsung mengagetkan beberapa orang disekitarku. Entah mengapa, tubuhku seolah enggan bersinggungan dengan benda lainnya. Beberapa kawan mengejekku "Gimana kalo malam pertama?" aku tak mau membayangkan itu, sungguh! Malah ada yang iseng bertanya "Dee, kalo pacaran gimana?" Kau tau, jawabanku hanya tersenyum.

Semenjak SLTP aku menghindari yang namanya pacaran. Karena budaya remaja di kotaku mengharuskan ritual berkencan ketika seseorang membina hubungan dengan lawan jenis. Dan aku tidak menyukai ritual pacaran seperti ini. Bagiku sangat membosankan. Seorang perempuan yang berpacaran secara otomatis harus mau "diapa-apakan" oleh pacarnya. Dan ini sangat tidak mengenakkan bukan? Kita terpaksa nonton bareng, makan bareng, jalan bareng, dan segala hal yang dilakukan bersama-sama. Sangat menjemukan bukan? Aku menyukai kesendirian. Mungkin ini yang menyebabkan aku malas untuk berpacaran.

Aku dan kamu sangat berbeda. Ketika kamu berteman eforia, aku tak pernah merasakan itu. Karena aku, tetap berada dalam satu kawasan. Tidak sepertimu yang memberanikan diri datang ke sebuah kota asing, aku tak pernah melakukan perjalanan jauh bahkan aku belum pernah menetap di kota asing. Kau beruntung, setidaknya pernah merasakan hidup di budaya yang berbeda. Sedangkan aku? Lahir di Bandung, tumbuh dan besar di Bandung pula. Terkadang dua tahun sekali ikut orang tua mengunjungi simbah di Jawa Tengah.

Dua budaya berbeda ini (lahir di Sunda, keturunan Jawa) membuat aku gagap berbahasa. Sampai saat ini aku tak dapat bertutur dengan baik menggunakan bahasa Sunda atau pun bahasa Jawa, tetapi aku mengerti kedua bahasa itu. Ini mungkin salah satu kelemahanku dalam berbahasa.

Berbicara mengenai laut, kau beruntung. Setidaknya kamu telah mencicipi bagaimana asinnya air laut, damainya debur ombak, kerasnya hidup orang-orang pantai, alun lembut pasir di pesisir. Sungguh, kamu teramat beruntung merasakan semua itu. Sedangkan aku? Menjejak pantai saja belum pernah apalagi berdamai dengan lautan yang kata orang ombaknya ganas.

Berkawan denganmu, membuat aku ingin mengetahui sekeras apa kehidupan para pelaut itu? Malam yang jadi siang telah membiasakan meraka berteguh pada kepulangan menuju handai tolan. Aku jadi ingin merasakan hidup orang-orang itu. Semoga ada kesempatan untukku menikmati laut dan memunculkannnya dalam bait puisi.

Koto, saat ini aku sedang belajar ilmu ikhlas __bukan karena film dan sinetron "Kiamat Sudah Dekat" mungkin juga terinspirasi. Betapa aku ingin mengikhlaskan segala sesuatu yang pernah terjadi. Dari seseorang aku mengenal zakat, sebenarnya sejak kecil aku sudah kenal istilah ini. Tetapi selalu saja zakat fitrah jadi tanggungan orang tua. Seseorang itu mengajarkan padaku, jika kita dapat uang lebih, sudah sepatutnya kita menyisihkan 2,5% dari uang yang kita dapatkan. Sekarang ini aku selalu mengingatkan diri sendiri, jika dapat royalti ya setidaknya mengikhlaskan bagian yang memang milik mereka.

Akhiran

Koto, kamu tahu arti Dian? Dian itu berasal dari bahasa Jawa yang berarti pelita atau cahaya. Di desa orang tuaku, Dian itu adalah lampu dengan sumber energi minyak tanah yang gunanya tentu saja untuk penerang. Dian dibuat menggunakan botol kaca kecil bekas obat batuk atau sejenisnya. Tentunya aku ingin jadi penerang untuk orang-orang sekelilingku, setidaknya dengan ide-ide brilianku. Atau apapun itu, yang pasti berharga.

Suatu saat kamu pasti merasakan hal yang ingin kamu rasakan. Misalnya, bangun dari tidur dan tak menemu apa pun. Kau pun tak ingat di mana itu, lantas datang seseorang yang akan membekapmu dengan puisi-puisi tajam. Kau pun mengira-ngira siapa dia? Berani-beraninya mengganggu tidur di pagi hangat. Sosok perempuan berambut pendek, oh tidak pendek, terlampau pendek untuk ukuran perempuan. Kau coba mengingat siapa perempuan itu? Sayang kau tak dapat mengingat, kau hanya menemu tato kupu-kupu di jenjang lehernya. Koto, kamu masih tetap berusaha mengingat. Kupu-kupu itu hidup. Dia hinggap di tumpukan buku-buku berdebu di kamarmu. Namun sayang, perempuan itu hanya menancapkan geligi dan menghunjamkan seribu senyum tanpa kata. Tanpa kata.

Bandung adalah satu-satunya kota yang amat kucintai. Kota kembang yang menghilang jadi kota sampah. Saat ini aku sedang membenci Bandung. Pekan terakhir kotaku dipenuhi sampah, bukit-bukit sampah bertebaran di tepian jalan raya. Aku tak mengerti mengapa hal ini dibiarkan oleh pejabat dan masyarakat kotaku.

Teduh jalanan Bandung sungguh melambungkan anganku. Gedung-gedung berarsitektur Belanda, rindang pohonan di kawasan Dago, bahkan sunyi kota kudapati disepanjang Cipaganti. Jayagiri yang pernah kutaklukan, sungai-sungai yang pernah mengutukku. Karena aku adalah anak rimba di tengah metropolisnya Bandung. Karena aku, bandung, puisi-puisi itu telahir. Begitu saja berloncatan tak dapat kubendung. Tak dapat!

Refrein

Selalu aku tersenyum manakala namamu muncul di inbox e-mailku. Sebelum kubaca surat-surat singkatmu, senyumku muncul dan tahan lama. Sepanjang membaca suratmu, hingga berulang-ulang, senyum tak lepas dari bibirku. Terima kasih, karenamu aku selalu tersenyum di warnet. Karenamu, aku selalu bersemangat untuk menulis puisi, karenamu dan tentunya karenamu. Selanjutnya, kau tak perlu lagi memintaku untuk tersenyum. Karena aku akan selalu memberikan senyum terhangat untuk seorang sahabat sepertimu.

Jabat rindu untuk orang-orang yang mengelilingimu. Belajarlah pada alam, karena kita berada dalam lingkup kesesatan. Terima kasih Sahabatku….

Salam,

DeHa

Tidak ada komentar: