Sabtu, 28 Juli 2007

Lafal Untuk Sebuah Maaf

SudutBumi, 10 Mei 2006

Kepada segenap insan yang mencintai kata

Tentang Percakapan dan Mimpi

Kemarin sore, selepas mata kuliah Dialektologi aku dipertemukan dengan seseorang yang sering aku panggil si kembar__entahlah aku begitu nyaman dengan sebutan ini. Padahal kawan-kawan yang lain memanggilnya Piyu. Aku sendiri tidak mengetahui nama aslinya, mungkin karena aku tidak begitu banyak mengenal nama orang per orang, aku lebih akrab dengan wajah-wajah mereka__kakak kelas, adik kelas, atau siapun__yang aku temui di jalan menuju Pentagon, di selasar menuju ruang utama Al-Furqan, sudut Partere, atau jalan-jalan kecil lainnya yang membuat aku tak asing lagi dengan kampus UPI.

Sejak tiga bulan terakhir ini aku hanya sesekali mendatangi kampus untuk memenuhi presensi perkuliahan, bimbingan skripsi (ini pun tersendat), mengurus segala macam tetek-bengek yang berhubungan dengan birokrasi, mendatangi perpus hanya untuk membayar denda karena buku yang lupa aku kembalikan. Tak ada lagi kegiatan. Di rumah pun aku tak menyentuh bahan penelitian yang seharusnya sudah masuk bab dua. Lama juga aku tidak mendatangi kegiatan yang berhubungan dengan sastra, seperti teater, peluncuran buku, berdiskusi karya dengan teman-teman. Hanya saja aku menyempatkan diri untuk melihat-lihat koran minggu, yang barang kali memunculkan namaku. Aku juga menyempatkan sebulan sekali untuk mendatangi Gramedia, melihat buku-buku yang baru terbit. Itu semua aku lakukan karena kecintaanku pada buku, karena kesayanganku pada kata, karena kesukaanku pada tulisan.

Perjumpaan dengan si kembar yang tidak pernah kusangka ini menjerat aku pada rasa bersalah yang menggunung. Betapa tidak, kata-kata Piyu seolah menggugah kesadaranku tentang keberadaan diriku, ASAS, Hima Satrasia, kakak kelas, adik kelas, dan lingkungan tempat aku bernaung selama ini. Percakapan yang singkat di sepanjang jalan, depan UPI Net, serasa menghukum aku pada segala laku yang pernah kuperbuat selama ini. Bincang-bincang mengenai tulisan, jawaban-jawaban yang aku lontarkan, alasan-alasan yang aku kemukakan, seolah-olah hanya berupa wacana pembenaran bagi diriku sendiri.

Pertemuan yang singkat itu kemudian mempertanyakan aku (sebagai kakak kelas) yang tidak membagikan ilmu menulis yang aku miliki pada teman-teman yang lain. Aku pun memberikan jawaban "Aku bukan seperti Lukman Asya atau Ujianto Sadewa yang dapat berkoar-koar di depan umum. Satu kelemahanku, yaitu tidak dapat berbicara di depan umum. Kalo mau belajar ya menulis saja."

Lalu Piyu bertanya "Teh, saya paling nggak bisa membuat puisi yang prosais".

Lalu jawabku "Setiap orang itu punya karakter, jadi nulis aja."

Perdebatan kecil pun terjadi, "Ya harusnya Teteh mengajarkan kami, jadi muncul penyair lain, yang tidak hanya penyair Dian Hartati."

Aku menyambung, "Ya, kalo mau belajar, kamu kasih puisimu nanti sama aku dinilai 'dibantai', kemarin juga Bojes ngasih beberapa puisi, tapi karena belum ada waktu yang klop puisi itu masih aku simpan, dan sudah aku corat-coret."

"Ya, nanti Teteh kasih nilai puisiku enam," Piyu berargumen.

Karena percakapan singkat sore itu aku berinisiatif menulis surel ini untuk kalian, tulisan ini menjawab salah satu kelemahanku tadi yaitu tidak dapat berbicara di depan banyak orang. Juga karena peristiwa itu terbawa dalam mimpiku semalam. Jadi, betapa bersalahnya aku mengabaikan diskusi, karena aku tak pernah meluangkan waktu untuk sebentar saja beranjak menuju Pentagon lantai tiga di rabu sore.

Tentang ASAS, Tobucil, dan Cerita Lainnya…

Menulis adalah hal yang baru aku kenal di bangku perkuliahan. Sebelumnya aku tidak mengenal yang namanya sastra. Pelajaran di SMU meruapkan wangi sastra, yang ada hanya Bahasa Indonesia. Untuk itu aku memulai untuk mengenal tulisan, puisi, cerpen dan esai. Pertengahan tahun 2003 adalah masa awal aku belajar menulis puisi. Setelah diklat ASAS yang aku ikuti 5-6 Juli 2003, kesadaran untuk menulis begitu besar melambung dalam diriku. Berbekal ilmu yang aku dapati dari diklat aku berusaha berdisiplin diri untuk menulis. Mencontoh rekan-rekan ASAS yang seangkatan, senior-senior ASAS, dan teman-teman di kelas. Mereka semua adalah motivasi utama yang mendorong aku untuk menulis, dan tetap berkarya. Waktu itu Reza sudah memiliki kumpulan puisi tunggal, Kang Lukman sudah "menjadi" penyair, Sigit Rais bercerita tulisan-tulisannya yang sering dimuat di media. Betapa aku ingin seperti mereka. Menulis lalu dimuat. Sering juga aku berdiskusi dengan Kang Ahmad atau Kang Kobo mengenai esai, ngobrol dengan Kang Jalal "Gimana sih caranya nembus media?". Seminggu setelah diklat, muncul nama Nana Jiwayana di PR minggu, tak lama berselang nama Ahmad Irawan Nur Alam Eka Putra, Rahmawinasa, Kang Jalal, dan lainnya. Sosok Rudy Ramdani yang sekarang sering muncul di media dengan nama Awal Aliruda, puisinya sempat aku jadikan contoh.

ASAS adalah komunitas pertama yang mengasah aku untuk mempertajam motivasi menulis. ASAS juga yang kini sering dipertanyakan orang-orang ketika aku mendatangi tempat-tempat yang berhubungan dengan sastra. Beberapa waktu lalu, ketika aku datang ke Dewan Kesenian Jakarta, beberapa dari mereka mempertanyakan keberadaan ASAS. Kemarin (7 Mei 2006) ketika berbincang dengan Irfan Hidayatullah, lagi-lagi ASAS menjadi wacana utama. Aku masih ingat pertanyaan yang dilontarkan Kang Irfan "Kenapa orang-orang ASAS aneh?" lalu aku jawab saja sekenanya "Apakah aku aneh? Teman-teman ASAS itu ohida, Orang Hidup dengan Apresiasi" dia hanya tersenyum. Di lain tempat, ketika aku bergabung dengan komunitas di luar sastra__aku gabung pada sebuah kelompok paduan suara__ banyak yang mempertanyakan ASAS, atau ketika aku belajar menulis di Tobucil, mereka juga sering kali mempertanyakan ASAS. Bertanya bagaimana masuk jadi anggota dan ingin aktif di dalamnya. Berhubung aku bagian kecil dari ASAS aku menjawab bahwa ASAS adalah sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa, siapa saja dapat jadi anggota asalkan dia mahasiswa UPI. Kalaupun bukan anak UPI, siapa saja dapat bergabung untuk diskusi-diskusi yang sering dilakukan ASAS. Begitulah, aku merasa memiliki ASAS walaupun tidak atau jarang hadir di hari rabu. Untuk itu sampai sekarang aku PeDe mencantumkan ASAS di CV-ku.

Dalam pandanganku menulis bukanlah sebuah bakat. Banyak orang berbicara, menulis adalah bakat yang terpendam. Tapi tidak bagiku! Menulis adalah suatu kerja keras yang dibarengi kedisiplinan. Karena masih merasa kurang aku mencari komunitas menulis lain, dan Klab Nulis Tobucil (KNT) menjadi pilihan. Aku tahu Tobucil dari beberapa koran, lalu mencari di mana letaknya, dan langsung bergabung. Di KNT aku memeroleh suasana baru, kawan baru, dan pandangan-pandangan baru perihal menulis.

Di KNT aku dipaksa menulis saat itu juga, dipaksa berkarya, dan aku pun terpaksa melakukan itu semua. Di tempat ini aku mendapat kenyaman yang berbeda, kemalasan menulisku hilang dan keinginan menulisku muncul, bahkan meledak-ledak. Setiap senin sore aku mendatangi toko buku kecil di jalan Kiai Gede Utama No. 8, bertemu karakter-karakter yang berbeda setiap pertemuan. Orang-orang yang memang bergelut dengan tulisan, bahkan beberapa dari mereka mengaku penulis. Betapa senangnya aku berada dalam lingkungan seperti ini. lagi-lagi semangat menulisku meninggi ketika beberapa cerpenku dibantai. Segala masukan aku catat dan aku terapkan dalam latihan menulis selanjutnya. Secara sadar KNT membentuk aku dalam kerja keras di dunia kepenulisan. Setiap pertemuan yang menghasilkan tulisan, selalu menggugah aku untuk berkarya lebih banyak.

Di kelas pun aku bertemu teman-teman yang telah akrab dengan sastra. Mereka mempengaruhiku dalam berkarya. Banyak-banyak aku membaca tulisan mereka. Jika mau dibandingkan, aku sangat tertinggal jauh di belakang. Untuk itu aku banyak membaca, membaca apapun, terutama puisi, cerpen, dan esai yang sampai saat ini aku belum dapat menuliskannya dengan baik.

Puisi

Berbekal semangat dari mereka semua, akhirnya aku memberanikan diri untuk mengirimkan tulisan ke media. Aku sendiri menyadari bahwa kualitas tulisanku belum ada apa-apanya. Pasang target pun aku lakoni, bahwa di semester tiga harus ada tulisan yang dimuat. Demi memenuhi target itu, kerja keras dan kedisiplinan aku kerjakan dengan keras hati. Setiap bulannya aku kirim tulisan ke media mana pun yang menampung rubrik puisi.

Puisi adalah batu loncatan pertamaku dalam menulis. Dalam pandanganku, menulis puisi itu mudah. Hanya menyoal memadatkan kata, membangun metafor, dan menyampaikan pesan pada pembaca. Nyatanya menulis puisi itu sulitnya buka main. Banyak hal yang harus aku lakukan dalam menulis, setidaknya harus ada inspirasi sebagai pemancing. Selain itu aku harus banyak membaca karya penyair-penyair lainnya. Berdiskusi dengan beberapa teman yang memang manyukai puisi. Memaksa mereka untuk menilai puisiku.

Ketika itu di jalan Imam Bonjol No. 50, setiap seminggu sekali aku membawa beberapa puisi untuk dibantai seseorang. Dia adalah Wida Waridah atau Widzar Al-Gifary yang secara langsung mencacah puisiku. Wida menjelaskan bagaimana bangunan puisi yang baik, merangkai kata dengan tepat, memangkas kata-kata yang sering diulang. Pemilihan judul pun diperdebatkan. Wida pun memberikan banyak referensi yang harus aku baca, mengenalkan nama W. Haryanto, Jamal D. Rahman, dan nama penyair yang lainnya. Sampai akhirnya tanggal 14 Maret 2005 Wida "menurunkan" ilmu puisi terakhir yang dimilikinya. Tentang mikro dan makro semesta yang harus dijalin dalam untai lantun puisi. Setelah itu Wida angkat tangan, dan aku dibiarkan sendiri dalam pengembaraan kata-kata.

Sampai akhirnya mei 2005 aku mengalami kegelisaan dalam berpuisi. Setelah diri ditempa latihan-latihan menulis dengan keras, tiba-tiba saja aku tidak dapat menulis. Apapun itu! Yang ada aku hanya merenungi semua tulisan yang pernah aku buat. Berpikir mengenai tulisan, mengulas, membaca ulang, membandingkan dengan karya penyair lainnya, dan terus mengkaji. Sampai pada akhirnya aku dapat menulis lagi dengan hasil yang sangat berbeda. Tiba-tiba saja hasil puisiku sangat berbeda dengan karya sebelumnya. Isi puisi dan bentuk tipografi yang berbeda sempat membuat aku bertanya-tanya pada diri sendiri. Akhirnya aku menyadari bahwa itu semua adalah bentuk dari keberprosesan. Dan aku yakin ini tidak sia-sia!

Sampai saat ini aku masih harus banyak belajar. Dan ini menuntun aku untuk memilih kajian telaah puisi dalam skripsi yang sedang malas aku rampungkan. Aku juga masih harus membaca banyak karya orang-orang. Satu kelemahanku dalam kegiatan membaca adalah membaca buku-buku terjemahan, ini pernah aku keluhkan pada penyair Rizki Sharaf. Sedang untuk membaca buku bahasa aslinya aku tidak mampu. membaca buku-buku terjemahan seolah aku dihadapkan pada rangkai kata yang begitu rumit. Ingin rasanya membaca buku-buku itu tapi aku harus berjuang sangat-sangat keras. Membangkitkan ruh dalam puisi adalah hal yang sedang aku pelajari, tatanan estetika dalam berpuisi pun ingin aku pahami semuanya. Sekali lagi kembali pada proses pembelajaran, kesadaran diri untuk selalu berdisiplin dalam menulis dan mengirimkan karya.

Media Massa

Semester tiga membangun tekad di hati untuk jadi seorang penulis. Target yang aku pasang mewujud, puisiku yang biasa-biasa saja dihargai dan dimuat di sebuah buku terbitan Yogyakarta. Dengan berbekal kebanggaan yang sangat tinggi ini, aku membanjiri redaksi-redaksi media massa dengan puisiku. Lagi-lagi ternyata kesabaran yang tinggi sangat diperlukan.

Karakter puisi media dengan karakter puisiku sangat berbeda. Dari pengalaman teman-teman, dari seminar-seminar yang aku ikuti, ternyata jika ingin mudah dimuat aku harus dapat bernegosiasi dengan diri sendiri. Setidaknya untuk mengubah karakter puisi dan disamakan dengan karakter media. Namun nurani tidak dapat dipaksa. Puisi-puisi yang mengalir dari tanganku melulu karakter yang aku miliki. Aku tidak dapat menyamakan dengan karakter di media. Akhirnya aku bertahan dengan karakter diri sendiri, tak peduli dimuat atau tidak dimuat! Yang pasti inilah karakter yang aku miliki. Seharusnya dalam keberprosesan, kita harus dapat menjelajah segala hal termasuk karakteristik. Dan tetap menulis serta mengirimkan tulisan setiap bulannya.

Bersentuhan dengan teknologi adalah salah satu upaya memperluas cakrawala. Akhirnya aku membuat jadwal pengiriman karya via e-mail setiap minggu. Semua media aku hujani puisi. Melulu puisi karya tulisan dengan stok terbanyak yang aku miliki. Sesekali pernah juga kirim cerpen.

Akhirnya setelah proses pengiriman kurang lebih dua tahun, puisiku muncul di Pikiran Rakyat. Bagiku ini bukan suatu prestasi yang tinggi dan cukup berarti, karena sebelum di PR puisiku telah muncul di beberapa media. Tetapi yang harus digarisbawahi aku tumbuh berkembang di tengah arusnya media massa. Puisiku ditempa waktu untuk sebuah kematangan. Puisiku dapat bertahan di derasnya badai penolakan redaktur. Akhirnya!

Perjuangan itu masih panjang. Keinginan-keinginan untuk dimuat di media yang lebih besar menjadi keinginan utama. Selalu puisi-puisi itu berjalin dan bersengkarut dalam hari-hariku dan aku sangat menikmati ini. Menulis adalah salah satu cara penyembuhan. Dimuat atau tidak dimuat. Dibayar atau tidak dibayar! Karena hal terpenting adalah berkarya.

Lafal untuk Sebuah Maaf

Tak jera dengan penolakan-penolakan itu, aku tetap membudayakan menulis dalam keseharianku. Minimalnya mengirimkan puisi melalui sms pada siapa saja yang tahu kesukaanku pada puisi. Mengirimkan puisi untuk teman-teman yang berada di sehampar nusantara ini selalu aku lakukan setiap minggunya. Yang penting mereka tahu aku selalu berproses guna menempuh kesempurnaan.

Semoga surel singkat ini dapat memotivasi teman-teman tanpa menganggapku tak mau berbagi ilmu. Apa hendak dikata, ketika kekuatan diri terkungkung dalam sebuah bisu kata, aku hanya mampu menuliskannya dengan rasa bersalah yang besar. Maafkan aku. Semoga tulisan ini menjadi suatu sensasi sepanjang berdirinya ASAS. Hahaha!

Salam,

DeHa

membaca_menulis_menulis_menulis_membaca

Tidak ada komentar: