Sabtu, 24 November 2007

Untuk Tuan Pelamar

SudutBumi, 8 November 2007

“Apa yang paling membuatmu merasa lebih sempurna jika kamu sudah mendapatkan apa-apa yang menjadi keinginanmu sekarang?”

(Isyarat Cinta yang Keras Kepala, Puthut Ea)

Tuan, besok (9 November) genap sebulan “gosip” lamaran itu mencuat ke permukaan. Apa yang akan Tuan lakukan? Tetap bermain-main atau akan melakukan sebuah loncatan. Terserah apa yang akan Tuan kerjakan, yang pasti surat ini kutulis tidak dalam keadaan “jaim” atau bermanja-manja ria.

Kau dan Sederet Kehidupanmu

Tentu saja aku tidak tahu siapa Tuan sebelumnya. Tuan hadir ketika “heboh” Temu Penyair di Yogyakarta. Kota yang bagiku penuh kenangan. Tahukah Tuan, ingatanku melawan arus, ia berlari pada masa setahun lampau. Ternyata nama Tuan telah berdampingan denganku di sebuah koran daerah. Ya, ternyata kita telah dipertemukan secara tidak langsung.

Komunikasi itu berlanjut Tuan, kita membicarakan banyak hal tentang sastra dan lingkup bidang tersebut. Tetapi, pembicaraan yang kita bangun hanya sekadar hubungan pertemanan antara individu yang memiliki profesi yang sama. Ya, Tuan sempat beberapa kali menghubungiku dalam waktu-waktu tertentu.

Dan kini, seminggu sudah kita intens berkomunikasi. Setiap hari tentunya ada kabar yang sampai kepada kita. Tuan, aku adalah seseorang yang selalu mengingat waktu. Mengapa? Karena bagiku waktu selalu terus berjalan, meninggalkan setiap perubahan-perubahan yang siap tumbuh berkembang, dan waktu mengajarkanku banyak hal. Tahukah Tuan sesuatu yang abadi itu adalah perubahan. Dan waktu selalu mengiringi perubahan itu.

Apa yang sedang Tuan pikirkan saat ini?

Pikiran Tuan mungkin berubah dalam menit berikutnya, dan aku akan memahami setiap pilihan yang Tuan tentukan. Sebuah pilihan yang akan mengubah hidup menjadikan hidup lebih manis atau terkesan hambar.

Kau dan sederet kehidupanmu, tentu saja aku tak mengetahui siapa Tuan sebenarnya. Aku hanya tahu Tuan, dari sudut pandang cerita-cerita yang Tuan bangun. Tak lebih dari cerita yang datang ke pendengaranku dan aku hanya mampu mengingat.

Aku dan Luka

Kuberi tahu, di tubuhku ada luka. Di tubuhku terdapat luka yang dalam. Begitulah aku selalu memperkenalkan diri kepada laki-laki yang datang dan pergi. Ya, laki-laki yang datang dan pergi, sekehendak hati mereka. Dan aku selalu menyiapkan diri untuk merasakan luka yang sama , kebosanan yang sama, dan sakit yang sama. Aku selalu mempersiapkan diri untuk berbagai rasa yang singgah di hati lalu pergi dan hanya meninggalkan kenangan.

Bagaimana dengan Tuan?

Sampai hari ini aku merasakan luka yang ditinggalkan laki-laki terdahulu. Tapi untuk Tuan ketahui, aku tak pernah larut dalam keterpurukan. Aku bangkit dengan kekuatanku sendiri. Menjahit kembali sayap kupu-kupu yang robek, membenahi setiap bagian yang dilukai.

Kini aku dapat terbang bebas.

Dan untuk menjaga agar sayapku tak luka lagi, aku selalu bersiaga untuk kedatangan dan kepergian. Kini, aku selalu berhati-hati jika rumah di hatiku dikunjungi tamu. Seperti saat ini, Tuan sedang bertamu di rumahku. Aku menerima Tuan dengan sebuah senyuman. Senyuman pagi. Lalu mengapa tiba-tiba Tuan mengirimkan hujan di pagiku yang indah? Tuan, aku bersiaga dengan kiriman hujan itu. Aku bersiap jika hujan itu pergi dan meninggalkan aku. Aku memahami hujan yang Tuan kirimkan, hujan yang ambigu. Hujan yang merindu.

Tuan, bagaimana jika musim berganti? Bagaimana jika kemarau datang tiba-tiba dan hujan tak kembali membasahi pagiku? Apakah aku harus bersiap dengan luka yang baru? Apakah aku harus menyiapkan benang dan jarum kembali. Aku lelah Tuan dengan semua yang tak pasti.

Meretas Jarak

Jika Tuan tidak sedang bermain-main, maka buatlah perubahan untuk musim yang tak menentu ini. Datanglah bersama hujan yang Tuan kirim di setiap paginya. Hujan yang berarti rindu. Aku ingin tahu, apakah Tuan akan mengubah hidup atau hanya menjadikan kisah ini sebuah cerita dalam telepon genggam.

Salam,

dari peremPUAN yang hendak Tuan “lamar”

Tidak ada komentar: