Sabtu, 01 September 2007

Ketika Rindu Menemu Jejarak

SudutBumi, 31 Januari 2006 ~ 11:49

Satu bulan sudah…

Ketika Aku mendapati hari mendadak siang dan menyadari ketiadaanmu, Aku menyesal. Mengapa tidak seperti hari kemarin: Aku bangun pagi, mandi, dan segera menemuimu. Sesal yang betapa. Dan Aku pun kecewa, padahal malam sebelumnya Kau berjanji akan berangkat siang hari dan menemuiku terlebih dahulu. Akh, mengapa selalu sesal yang datang kemudian. Mengapa?

Kau tahu, dari sekian nama yang tertera dalam undangan itu, Aku segera menandai namamu. Sebelum pertemuan kita, ada firasat di hatiku yang menyiratkan namamu. Namamu yang tertulis tiga kali: Lubis Grafura, Lubis Grafura, Lubis Grafura. Dan ternyata benar, setelah pertemuan itu. Siang hari Kau bersama kawanmu menanyakan di mana gedung registrasi dan Aku menunjukkan tempat. Beberapa saat kemudian Kau datang dan segera mengenalkan namamu dan temanmu. Kau masih ingat ekspresiku? Yang tibatiba saja berseru "yang cerpennya tiga kan?" Dan Kau hanya tertawa ketika itu.

Setelah itu Kau mualmual karena Aku selalu mengucapkan kata "GUBRAK!", berkalikali bahkan berulangulang. Dan Kau pun tertawa terbahak ketika teman sekelasku mengenalkan namanya sebagai Ariel Peterpan. Aku masih ingat semua tingkah lakumu, tawamu yang aneh, semua yang ada di dirimu tanpa terkecuali, juga cara merokokmu. Kau tahu Aku tidak suka lakilaki perokok!

Pembicaraan yang tak jauh dari tulisan, melulu tulisan. Aku tidak begitu suka cerpenmu yang terkesan populer. Tetapi, Aku suka ideide yang Kau sampaikan begitu sederhana namun mengena. Aku suka "Lilin yang Tak Pernah Padam" jika katamu kisah ini mengenai perempuan yang sulit melupakan cinta pertamanya, maka cerpen yang Kau tulis ini merupakan penjelmaan diriku. Kau tahu betapa Aku terhanyut dalam luapan kegelisahan. Mengenangkan sesuatu yang telah berlalu dan sampai saat ini masih kukenang. Aku lilin yang menjelma dalam keseharian, Aku lilin yang menyusup dalam ronggarongga tubuhmu, Aku lilin yang selalu di caricari orang ketika aliran listrik mati, Aku lilin bagi kehidupanku sendiri, Aku lilin, lilin….

Jakarta, kota yang tak pernah Aku bayangkan sebelumnya untuk singgah dan bertemu orangorang seperti kalian. Temanteman yang tibatiba saja menumpahkan inspirasi pada puisipuisiku. Kau tahu siapa kekasihku? Puisi, ya kekasihku adalah puisi. Dan Kau harus tahu, setelah pertemuan denganmu tibatiba saja terbersit dalam pikiranku untuk berselingkuh. Berselingkuh menuliskan cerpen__bersamamu tentunya. Mungkin waktu menjadi singkat ketika inisiasi antara aku-kamu, kita-temanteman, kita-mereka, mereka-aku menjadi sebuah bungkil bunga yang harus ditumbuhkembangkan. Ruangruang yang dipenuhi asap rokok, malammalam dipenuhi canda tawa, kampung halaman yang untuk sementara waktu ditinggalkan. Semua menanamkan kenang di kemudian hari.

Sampai hari ini, betapa Aku menyesal tak bertemu denganmu sebelum keberangkatan, sebelum perpisahan kita, sebelum semua menjadi kenangan manis. Ketika cerpencerpen dibacakan. Malammalam di taman dekat pelataran parkir. Di jalanjalan menuju Blok S. Semua telah Aku bekukan agar tak hilang dari ingatan. Sampai saat ini, hari terakhir di bulan Januari di awal tahun 2006. Bagaimana kehidupanmu setelah tahun baru Kau jelang? Semoga harapan masa datang menyeruak dengan sempurna dan nyata.

Tibatiba saja mengganggu…

Aku adalah perempuan yang mudah jatuh hati dan sulit melupakan. Perempuan anti sentuh, perempuan yang telah bersenggama dengan kesunyian, perempuan yang hamil katakata dan melahirkan ratusan bahkan puluhan ribu puisi. Perempuan keras hati yang tak luluh ketika melihat tata sosial masyarakat berantakan. Perempuan yang sulit mengeluarkan air mata untuk kemanusian. Perempuan hanya perempuan, tak lebih. Mungkin Kau lebih tahu mengenai sisi balik perempuan. Kau melulu menuliskan perempuan dalam cerpenmu, Kau juga memenangkan penulisan All About Women 2005. Entahlah, Aku tidak tahu yang ada dalam pikiranmu mengenai perempuan.

Aku adalah sosok yang sulit tertembus rayuanrayuan gombal para lelaki. Maka tidak aneh jika tibatiba saja seorang lakilaki mengatakan "sayang" padaku. Tidak mudah mendapatkan Aku dan Aku pun tidak begitu saja menelan semua katakata lelaki itu. Tahu arti bersetia? Semoga saja Kau lakilaki bersetia pada apapun. Bersetia pada katakata, tanggung jawah, waktu, kepercayaan, lingkungan, orangtua, kekasihmu, bahkan bersetia pada dirimu sendiri, dan tidak menjadi pecundang.

Lantas apa Aku salah jika Aku membenci sosok lakilaki beristri yang tibatiba mengobral katakata. Di mana ingatannya sampai melupakan perempuan yang telah dinikahinya, di mana ingatannya ketika harus berjarak dengan buah hatinya, di mana? Semoga Aku tidak salah membencinya. Ya, Aku tahu. Tidak baik menjadi seorang pendendam. Tapi sebagai seorang perempuan Aku dikhianati. Aku terhina. Seharusnya lakilaki itu dapat menempatkan posisi dengan baik di setiap ruang geraknya. Jangan sampai melukai perasaan istri dan anaknya. Apakah Dia tidak ingat Ibunya yang juga seorang perempuan?

Aku pun tak salah jika membencinya. Bukan hanya padaku lakilaki itu bersikap mengumbar katakata. Pada perempuan lain, pada temanku dia begitu. Apakah semua perempuan akan dia jadikan tempat sementara ketika keluarga tidak berada dekat dengannya? Itu salah bukan! Dan ini yang Aku tidak suka darinya. Karena DIA TIDAK MENGHARGAI PEREMPUAN. Itu saja!!!

Kau tahukan siapa yang Aku maksud? Dia teman sekamarmu. Terima kasih (semalam) telah menenangkan pikiranku dan mau mengerti keadaanku saat ini. Matur Nuwun….

Para Kekasih…

Ketika lanskap Bromo menggenang di benakku, Aku pun muntah di pundakmu. Membasahi bajubaju kusutmu dengan ceracau kesetiaan. Dan Kau tetap menanti arah datang angin gunung. Kau tak pernah percaya padaku, Kau tetap membelakangi pasirpasir di mataku. Bahkan Kau pun bergegas tinggalkan sebongkah kenang yang telah kita pahat bersama. Adakah anganmu berseliweran di lerenglereng tak bernama, menanti petikan kecapi dari Parahyangan ataukah Kau menantikan alunan debur ombak dari Parangtritis. Tidak. Kau tetap di sana entah dengan siapa atau bahkan tanpa sesiapa. Dan Aku di sini. Menatap kawah Tangkuban Perahu, sendiri. Hanya di temani kabutkabut bau belerang. Angin dingin menusuknusuk ulu hati. Nyeri. Kau di kotamu dengan siapa???

Rencana Kamu, Aku, Kita….

Point pertama

Katamu: "Aku buat cerpen kamu buat puisi"

Mengapa tidak kita gabungkan tulisan kita? Mengapa harus ada kamu yang cerpen dan Aku yang puisi? Tapi mari kita pikirkan secara realistis. Jika memang kelak akan diterbitkan kita harus tahu, saat ini pembaca suka tulisan berjenis apa? Bukan hanya itu, kita pun harus memikirkan kepentingan penerbit, apakah penerbit akan mau menerbitkan tulisan kita yang campur (prosa dan puisi), tidak murni prosa? Jika dimungkinkan penerbit mau menerbitkan jenis tulisan apa saja, mengapa kita tidak menulis tulisan yang unik, bahkan aneh sekali pun. Walaupun begitu Aku setuju saja jika kamu cerpen dan Aku puisi. Tapi berikan kesempatan bagiku untuk menuliskan cerpen, selama ini Aku selalu bergumul dengan puisi, Aku ingin mencicipi aroma tubuh makhluk lain: bernama cerpen.

Point kedua

Katamu: "tema apa yang bisa kita angkat untuk menjadi benang merah kita?"

Berhubungan dengan point pertama, kita harus dapat menyiasati bagaimana tulisan yang bergenre berbeda ini dapat dipadukan. Puisi dengan bahasa super padat dan prosa dengan kalimatkalimat kompleks dan berisi. Beberapa novel pernah diterbitkan menggunakan tipe seperti ini. misalnya saja dari salah satu buku Dewi Lestari. Kalau tidak salah buku Dee yang pertama menyertakan baitbait puisi. Selain itu buku yang ditulis Andi Lotex bertajuk "Kau Bunuh Aku Dengan Cinta" dibuka dengan puisi panjang penulisnya. Novel "Beraja" yang ditulis oleh Anjar meletakkan puisi dalam babbab baru sebagai penyegaran terhadap pembaca. Bukubuku populer ada yang menyertakan puisi di halaman dalamnya. Jadi kalau kita sepakat akan menggabungkan dua genre sastra ini dalam satu buku, kita harus menentukan berapa banyak persentase prosa dan persentase puisi. Apakah memungkinkan jika satu halaman prosa kemudian satu halaman puisi. Apakah pembaca tidak akan muntah? Karena dalam novelnovel yang pernah saya baca, puisi hadir hanya sebagai pelengkap. Sebagai pemanis, berfungsi menggiring pembaca untuk mengawang. Hanyut dalam alur cerita.

Lalu tema apa yang harus Aku dan Kamu sepakati? Banyak hal dalam kehidupan ini yang perlu diangkat. Bukankah cerpencerpenmu selalu menghadirkan ide yang tidak disangkasangka? Yang pasti kesatuan dan keseimbangan dalam sebuah cerita harus di bangun. Masalah benang merah kita ambil saja yang sedang populer saat ini, atau bahkan yang sureal sama sekali. Hentakanhentakan dasyat harus dibangun untuk menghasilkan karya yang monumental. Mari kita pikirkan benang merah cerita yang akan kita garap!

Point ketiga

Katamu: "kita melakukan persetubuhan dengan sastra (point ini di skip aja!)"

Persetubuhan dalam sastra, persetubuhan seperti apa? Minta penjelasan yang lebih gamblang, biar Aku bisa cari referensi bacaan., tapi mungkin Aku juga mengerti.

Point keempat

Katamu: "Aku kirim cerpen ke kamu dan kamu kirim puisi ke Aku dalam bentuk attachment. Kalau kita sepakat kita masukin ke penerbit. Tapi begini, cerpen atau puisi itu harus baru (buatan Januari 2006 ke atas)"

Mengenai kebaruan karya itu harus! Tanpa mengurangi mutu tulisan karena terburuburu bukanlah hal yang menyenangkan. Ingat setiap tulisan itu harus diendapkan terlebih dahulu untuk hasil yang sempurna.

Ketika Rindu menemu jejarak….

Hai Kau! Apa yang dapat Kau kenangkan dari segala ceracauceracau yang muntah dari hatiku? Tak lebihkah dari sekadar senyum tulus yang tak dapat Aku nikmati. Atau sekadar gelengan kepala karena Kau menganggapku percuma. Suatu kesian karena bagaimanapun Aku hanya mampir barang sejenak di ruang hatimu dan begitu saja Kau meninggalkan semua. Tanpa bekas. Seperti saljusalju yang tak pernah Kau lihat secara nyata. Dingin tak teraba.

Bagaimana pun Aku selalu menyiasati berkehendak denganmu. Mengirimkan pesan singkat tanpa ada jawaban (ya, kecuali malam tadi!), mengirimkan email dengan hasilhasil jawaban yang pendek. Semua telah Aku usahakan, betapapun jarak pisah kecintaan membentang. Puluhan bahkan ratusan kota menujumu.

Mengenai wilayahmu: di sana Aku mempunyai dua orang teman. berawal dari teman kemudian terjalin suatu hubungan dan berteman kembali. Kota yang masuk dalam catatan sejarah kisahkisahku. Kota yang ingin kudatangi suatu kelak. Kota yang menjadikan Aku mengutuk seorang lelaki karena dia salah memilih perempuan. Kota yang memuat salah satu cerpenku di sebuah harian kecil. Kota yang dilukiskan Remy Sylado sebagai "Kembang Jepun". Kota yang salah satu simbolnya menggambarkan buaya dan seekor ikan. Kau jangan menjelma buaya di sana dan di kota manapun. Kota hanya kota, tak lebih dari sebuah angan.

Masih dengan Rindu yang Sama

-lantun doaku-

masih dengan rindu yang sama

aku sepakati segala gundah hati

kecintaan yang tak pernah reda

gelegar, kisikisi hati

entahlah

mengapa aku masih bertahan

dengan rasa samar tak mewujud

karenamu semua ditikam sunyi

harapan masa datang

ah, betapa

bulanbulan mencermati pesonamu

senyum di ujung hari yang tak kudapati

kau, masihkah rasakan gelombang berguncang

perjalanan di ujung hari

pernahkah kau rasakan sedikit

lantun doaku

sedikit kenang di benakmu

masih dengan rindu yang tibatiba

semua aku ikat dalam buketbuket harap

tuhan pun mendengar

ketika rindu ini memaksa diri

bersatu dengan alam fikirmu

pernahkah kau merasa apa

sungguh aku masih bertahan dengan rindu ini

SudutBumi, 2005

Selalu Kenangan Membeku di Ujung Hari.

Begitulah, selalu Aku tulis suratsurat panjang pada siapapun. Beginilah caraku menyambung silahturahmi, tidak hanya denganmu. Dengan banyak orang. Inilah salah satu kekuatanku menundukkan jarak karena mereka tidak selalu di sampingku, sepertimu.

Salamku untuk semua yang ada di hatimu: orangtuamu, kakakmu, adikmu, seluruh keluarga besarmu, kawankawanmu, penulispenulis di kotamu. Sampaikan juga salam perkenalanku teruntuk kekasihmu….

Salam dari SudutBumi,

Tahun Baru 1427 Hijriah ~14:33~

DeHa

Tidak ada komentar: